Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Semua Bisa Bilang

Malam ini mendengarkan lagu ini saat menyantap makan malam ditemani buku teks tentang kestabilan terbang dan kendali otomatis. Memang bukan untuk pertama kali, namun baru kali ini petikan ukulele dan nyanyian "si abang" saya balas dengan koin aluminum bergambar bunga melati. Di tengah dunia yang makin mudah mengekspresikan"nya" dengan kata-kata yang indah (dan jadinya terkesan murahan) dalam media sosial, dalam momen-momen interpersonal, momen nasional, atau dengan Yang Transedental, lirik lagu ini rasanya pas sekali mewakilkan "yang akan hilang maknanya apabila saya ucapkan di bibir atau tulisan saja". Kalau kau benar benar sayang padaku Kalau kau benar benar cinta Tak perlu kau katakan  Semua itu cukup tingkah laku Sekarang apalah artinya cinta Kalau hanya di bibir saja Cinta itu bukanlah main mainan Tapi pengorbanan

Beberapa Rencana Tulisan dalam Waktu Dekat

Sejenak membuka laman blog saya untuk sekedar mencurahkan isi pikiran yang--mungkin dalam bahasanya Vicky Prasetyo--mulai berombak. Jumlah hari yang telah berlalu sejak tulisan saya terakhir di awal bulan Oktober 2013 (atau di akhir bulan September 2013) sampai hari ini adalah sama dengan jumlah jari di tangan kanan saya ditambah satu. Enam hari bisa jadi merupakan waktu yang cukup lama ataupun terlalu singkat bagi saya. Seperti kata seorang sahabat saya yang kini sedang menjadi "tahanan rumah" di Medan*, saat menjelaskan "teori relativitas waktu".Saya lupa persisnya, tapi kira-kira begini yang saya tangkap tentang teorinya: waktu satu jam itu bisa sangat lama maupun sangat singkat tergantung subjek/individu yang merasakannya. Satu jam itu sangat singkat buat seorang pria yang dapat waktu bercakap-cakap dengan wanita pujaannya setelah lima tahun hanya bisa mengaguminya di balik layar, tapi satu jam itu juga adalah waktu yang sangat lama untuk pria yang sama ketika

Hari Kesakitan Pancasila

Aku tak sedang bicara peristiwa lampau, yang jadi jualannya ahli sejarah. Tak soal menyoal siapa yang salah, yang jadi perkaranya ahli hukum atau ahli agama. Tak juga gandrung soal statistik, yang jadi mainannya ahli ekonomi atau ahli politik. Cuma ingin menggelitik dengan tanda-tanda masa dari kacamata seorang mahasiswa teknik, tentang bangsanya yang sakit Pantja Sila : Keuangan yang maha kuasa , ketika hakim tindak pidana korupsi pun bisa disuap tiga bulan lalu di Sulawesi Tengah Kemanusiaan tak beradab , ketika manusia yang "salah" boleh dibantai sekejinya satu tahun lalu di Banten Persatuan mafia hukum, mafia birokrasi, dan mafia pajak yang semakin dianggap lumrah Kerakyatan yang dipimpin oleh kepentingan partai yang bertahta , ketika rakyat hanya bisa menjadi penonton panggung sandiwara kuasa di negeri tempatnya berdaulat. Tempat para lakonnya cuap-cuap bicara atas nama "rakyat", entah siapa yang benar-benar dimaksudnya. Keadilan sosial bagi yang pu

Ketika

Ketika yang punya tanggungjawab hanya doyan pamer muka Ogah diusik apalagi dikritik Ketika yang muda termakan dunia dan gemar  asmara buta Seakan hidupnya yang paling sengsara dan tak lagi peka Ketika yang benar hanya jadi wacana digantikan pembenaran karena tak mau berkorban Ketika ibadah terlepas dari kehidupan nyata dalam doa hanya ada soal "keselamatanku, suksesku, dan bahagiaku" Ketika Tuhan hanya jadi budak nafsu tempat minta ini-itu Ketika Sorga tak coba dihadirkan ke Dunia karena Tuhan hanya ada di masjid, gereja, pura, klenteng, tak ada disini dalam diri ………. Saat itulah, keberadaanku kupertanyakan. Karena tak perlu menjadi garam untuk lautan dan tak perlu menjadi seberkas api untuk matahari. Karena kuyakin manusia tak perlu diajari melihat dan mendengar hanya perlu disengat dan dibakar untuk tidak menutup mata dan telinganya Bandung, 16 September 2013 Sepi Di Tengah Keramaian Pengadilan Tenggelam

Cuplikan dalam Perut Harimau Malam

Laki-laki paruh baya itu membuka pintu yang berjarak sepuluh langkah di depanku. Langkahnya perlahan menyusuri lorong yang bisa meliut-liut, mendekat. Tiga langkah kemudian, ia melangkah kecil ke samping kiri sambil memegang kursi kulit berwarna putih dengan tangan kanannya. Di atas kursi yang baru dipegangnya, seorang pemuda dengan celana pendek tidur telentang dengan kaki bersila. Lututnya menghadap ke atas seperti menantang langit-langit ruang itu. Sepertinya bukan pertama kali ia lelap dalam perut harimau. Kucoba pejamkan mataku lagi. Lima detik kemudian, kulihat laki-laki tadi melanjutkan langkahnya. Kini ia sudah di sampingku. Sesekali ia mengulangi langkah-langkah kecil ke samping kiri dan kanan. Saat ini seperti yang lalu. Entah, sepuluh sampai lima belas tahun. Waktu itu, aku masih layak tidur di pelukan Ibuku. Pejamkan mata lagi. ...........ngik.......jegjegjeg.....  jeg....jeg....jeg... ....ngiiiiikkkkk.... ........ ......... Sepertinya aku akan bangu

Hakteknas dan HUT-RI ke-68: Sebuah Evaluasi Kemajuan Teknologi (Penerbangan dan Keantariksaan) Nasional[1]

Gambar 1. N-250 (kanan) dan CN-235 (kiri) Bukan kebetulan bahwa Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) dirayakan tepat seminggu sebelum HUT RI. Hakteknas memperingati hari penerbangan perdana pesawat N-250: sebuah kado dari putra-putri negeri ini untuk negerinya yang berulang tahun emas. 10 Agustus 1995, untuk pertama kalinya langit dunia digetarkan sebuah  pesawat  terbang turboprop yang sudah menggunakan teknologi  fly-by-wire [2] . Seperti sebuah paradoks, justru di tempat yang masih diisi oleh tukang becak, gelandangan, dan  ditempeli label "negara berkembang", Dunia melihat sebuah lompatan teknologi yang berani. Delapan belas tahun kemudian, sudah sejauh apa kemajuan teknologi nasional kita? Namun sebelum kita berbicara tentang sejauh apa kemajuan teknologi nasional, mari kita berbicara dahulu tentang "bagaimana cara mengukurnya?" Indikator Keberhasilan Perjuangan  Teknologi Nasional Teknologi seyogyanya adalah alat bagi manu