Langsung ke konten utama

Sebuah Senja

"......Di tengah kabar yang begitu dinamis ini, aku mengambil jenak untuk menghirup nafas lebih dalam. Sore tadi jalanan memang nihil suara anak-anak yang bermain. Lima toko yang kukunjungi hari ini kehabisan stok masker. Masker sekali pakaiku tinggal satu untuk besok. Di jalan kudapati bus umum yang kosong. Hanya seorang nenek berjaket merah muda menggunakan masker yang duduk di bangku kedua paling belakang yang juga paling dekat dengan jendela di sebelah kanan. Matanya menerawang gedung-gedung apartemen yang disinari cahaya sore hari. Entah apa yang ada di benaknya saat itu. Pandangan kuarahkan kembali ke arah kulangkahkan kakiku. Seorang pria tua yang masih berjalan tegap berjalan berlawanan arah denganku di trotoar yang sama. Kuanggukkan kepalaku dan ia membalas mengangguk. Hari ini hari yang ….. ah."

-sepenggal catatan harian sebulan lebih satu minggu yang lalu, awal tahta Sang Putra Mahkota di Negeri Han.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Hari Pendidikan Nasional: Katanya Penting sih, tapi Saya Harus Ngapain dengan Hari Itu?[1]

“Hari itu tidak ada kuliah, pun tidak ada perayaan yang berarti. Hari itu hari Sabtu. Tidak ada upacara bendera yang harus saya ikuti seperti beberapa tahun silam ketika saya masih cebol. Satu hari sebelumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, di Jakarta, kaum buruh berdemo. Hari itu giliran guru honorer, mahasiswa, berdemo. Namun bagi saya, hari itu lalu lewat seperti hari-hari biasanya. Hari itu tanggal 2 Mei 2011.” Hari Pendidikan Nasional? Buat apalah kita menambah satu hari peringatan nasional tanpa tambahan liburan? Pertanyaan itu terbersit di benak saya saat menulis kata-kata yang saat ini sudah tertulis di depan mata Pembaca sekalian, beberapa hari menjelang HarDikNas yang bahkan seringkali tanggalnya tidak ditandai khusus dalam kalender karena angkanya tidak berwarna merah. Iseng membuka Google, saya mengetikkan kata “Hari Pendidikan Nasional” di kotak pencarian. Klik “Enter” “Ki Hajar Dewantara”, muncul di baris teratas hasil pencarian Itulah kena