Minggu kedua bulan dua belas saat udara beku jadi selimut. Pancar surya menerobos bilik rehat menjamah benak yang mulai membeku menghangatkan karsa menata kata. Di tengah hari tak banyak kebisingan, ketika berhenti merekam dan mengolah berkas-berkas rasa datang dan pergi, tujuh purnama terbit di atas punggung seekor harimau Asia Seperti bermimpi saat membuka mata ini drama dan realita apa yang di hadapanku layaknya merengkuh kabut ada, terasa dekat, terlihat, namun tak tergenggam atau sebuah kerlip kota dari kejauhan terlihat indah tapi tidak jelas dan justru itu maka terlihat indah. Seperti mengumpulkan serpihan es yang menyelimuti dedaunan kering musim gugur setelah hujan pada musim dingin: menarik, rumit, dan dingin. Akankah komunitas imajiner ini hanya jadi imajinasi dengan banyak sensasi dan publikasi tanpa esensi? lain di mulut, lain di aksi? Akankah anak rahim Ibu Pertiwi selamanya mau mendekadensi diri? Lemah hati, lemah akal, lemah teknologi....
Ruang-ruang belajar mendalang. Kata-kata jadi Wayangnya, Pikiran jadi Ceritanya, Sang Bayang jadi Dalangnya.