Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Hari Kesakitan Pancasila

Aku tak sedang bicara peristiwa lampau, yang jadi jualannya ahli sejarah. Tak soal menyoal siapa yang salah, yang jadi perkaranya ahli hukum atau ahli agama. Tak juga gandrung soal statistik, yang jadi mainannya ahli ekonomi atau ahli politik. Cuma ingin menggelitik dengan tanda-tanda masa dari kacamata seorang mahasiswa teknik, tentang bangsanya yang sakit Pantja Sila : Keuangan yang maha kuasa , ketika hakim tindak pidana korupsi pun bisa disuap tiga bulan lalu di Sulawesi Tengah Kemanusiaan tak beradab , ketika manusia yang "salah" boleh dibantai sekejinya satu tahun lalu di Banten Persatuan mafia hukum, mafia birokrasi, dan mafia pajak yang semakin dianggap lumrah Kerakyatan yang dipimpin oleh kepentingan partai yang bertahta , ketika rakyat hanya bisa menjadi penonton panggung sandiwara kuasa di negeri tempatnya berdaulat. Tempat para lakonnya cuap-cuap bicara atas nama "rakyat", entah siapa yang benar-benar dimaksudnya. Keadilan sosial bagi yang pu

Ketika

Ketika yang punya tanggungjawab hanya doyan pamer muka Ogah diusik apalagi dikritik Ketika yang muda termakan dunia dan gemar  asmara buta Seakan hidupnya yang paling sengsara dan tak lagi peka Ketika yang benar hanya jadi wacana digantikan pembenaran karena tak mau berkorban Ketika ibadah terlepas dari kehidupan nyata dalam doa hanya ada soal "keselamatanku, suksesku, dan bahagiaku" Ketika Tuhan hanya jadi budak nafsu tempat minta ini-itu Ketika Sorga tak coba dihadirkan ke Dunia karena Tuhan hanya ada di masjid, gereja, pura, klenteng, tak ada disini dalam diri ………. Saat itulah, keberadaanku kupertanyakan. Karena tak perlu menjadi garam untuk lautan dan tak perlu menjadi seberkas api untuk matahari. Karena kuyakin manusia tak perlu diajari melihat dan mendengar hanya perlu disengat dan dibakar untuk tidak menutup mata dan telinganya Bandung, 16 September 2013 Sepi Di Tengah Keramaian Pengadilan Tenggelam

Cuplikan dalam Perut Harimau Malam

Laki-laki paruh baya itu membuka pintu yang berjarak sepuluh langkah di depanku. Langkahnya perlahan menyusuri lorong yang bisa meliut-liut, mendekat. Tiga langkah kemudian, ia melangkah kecil ke samping kiri sambil memegang kursi kulit berwarna putih dengan tangan kanannya. Di atas kursi yang baru dipegangnya, seorang pemuda dengan celana pendek tidur telentang dengan kaki bersila. Lututnya menghadap ke atas seperti menantang langit-langit ruang itu. Sepertinya bukan pertama kali ia lelap dalam perut harimau. Kucoba pejamkan mataku lagi. Lima detik kemudian, kulihat laki-laki tadi melanjutkan langkahnya. Kini ia sudah di sampingku. Sesekali ia mengulangi langkah-langkah kecil ke samping kiri dan kanan. Saat ini seperti yang lalu. Entah, sepuluh sampai lima belas tahun. Waktu itu, aku masih layak tidur di pelukan Ibuku. Pejamkan mata lagi. ...........ngik.......jegjegjeg.....  jeg....jeg....jeg... ....ngiiiiikkkkk.... ........ ......... Sepertinya aku akan bangu