Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Kompleksitas Ikhtisar Rasa di Akhir Dekade

Minggu kedua bulan dua belas saat udara beku jadi selimut. Pancar surya menerobos bilik rehat menjamah benak yang mulai membeku menghangatkan karsa menata kata. Di tengah hari tak banyak kebisingan, ketika berhenti merekam dan mengolah berkas-berkas rasa datang dan pergi, tujuh purnama terbit di atas punggung seekor harimau Asia Seperti bermimpi saat membuka mata ini drama dan realita apa yang di hadapanku layaknya merengkuh kabut ada, terasa dekat, terlihat, namun tak tergenggam atau sebuah kerlip kota dari kejauhan terlihat indah tapi tidak jelas dan justru itu maka terlihat indah. Seperti mengumpulkan serpihan es yang menyelimuti dedaunan kering musim gugur setelah hujan pada musim dingin: menarik, rumit, dan dingin. Akankah komunitas imajiner ini hanya jadi imajinasi dengan banyak sensasi dan publikasi tanpa esensi? lain di mulut, lain di aksi? Akankah anak rahim Ibu Pertiwi selamanya mau mendekadensi diri? Lemah hati, lemah akal, lemah teknologi.

Built to Last

"It is far more important to know who you are than where you are going, for where you are going will certainly change as the world about you changes. Leaders die, products become obsolete, market change, new technologies emerge, management fads come and go; but core ideology in a great company endures as a source of guidance and inspiration." "The role of core ideology is to guide and inspire, not to differentiate; it's entirely possible that two companies can have the same core values or purpose. More importantly, how the company live it more passionately, deeply, intensely, powerfully aligned. It's not the content of the ideology that makes a company visionary. It's the authenticity, discipline, and consistency with which the ideology is lived--the degree of alignment--that differentiates visionary companies from the rest of the pack. It's not what you believe that sets you apart so much as that you believe in something, that you believe in it deeply

Beryukur dan Berjaga

Dalam beberapa puluh hari terakhir, berbeda dari sebelumnya, saya agak lebih sering merasa puas, merasa mencapai sesuatu, entah karena telah menyelesaikan satu presentasi kecil, menyelesaikan sebuah pekerjaan yang tadinya bahkan tidak dimengerti, atau beberapa kemajuan lain dalam pengerjaan tugas. Sebuah ingatan akan pelajaran lain mengingatkan saya untuk juga mewaspadai kepuasan-kepuasan ini dengan cara mengamati pengalaman-pengalaman ini secara lebih seksama: apakah yang saya kerjakan ini semakin mendekatkan saya pada tugas-tugas yang lebih utama? Atau ini hanyalah sebuah pengalihan?  Rasa puas diri kadang bisa menjadi racun ketika ia membuat seseorang untuk tidak melakukan apa-apa lagi, merasa semuanya sudah beres. Dalam hal itu, kewaspadaan menjadi sebuah jaring pengaman. Namun kewaspadaan ini pun bukan berarti tidak mampu menghargai apapun yang telah dicapai. Bukan juga berarti tidak mengambil inisiatif dan kesempatan-kesempatan lain selama mendekatkan pada tujuan yang lebih

Mengenai Matematika

Pukul 0:12, dini hari. Tadinya mau membuat catatan ini malam hari, tapi saat membuka laptop pukul 21 tadi, otak saya menggerayang ingin membaca dan menulis tentang konsep matematika yang pernah saya pelajari dan mencoba memetakannya. Beberapa tahun terakhir ini saya baru menemukan cara belajar pribadi dan akhirnya menggunakan cara itu untuk banyak hal. Prinsipnya adalah mencoba menggali dan mengontemplasikan apa yang sudah saya pelajari atau bahkan hanya saya dengar, lalu mencoba mngorganisasikan pengetahuan-pengetahuan itu dengan apa yang sudah saya pelajari sebelumnya. Hal ini saya lakukan setelah membaca beberapa buku yang berkaitan dengan bagaimana cara otak menerima informasi dan menyimpannya. Ada sebuah ambisi tersendiri saat mencoba merangkum apa yang pernah saya pelajari mengenai matematika sampai hari ini. Saya ingin mencoba menuliskan ulang konsep-konsep dalam matematik dalam sebuah kesatuan yang lebih mudah dicerna. Saya merasa selama 24 tahun kehidupan, dari belajar be

Tentang Kata

Di tengah perasaan bersalah--karena belum menghadiahi tulisan ulang tahun untuk seseorang yang kukagumi--dan ingin menulis sesuatu (yang mungkin bukan hadiah ulang tahun itu), akhirnya saya menulis tentang sesuatu yang saya kagumi. Rasanya sudah lama tidak bersentuhan dengan sesuatu yang bisa mengekspresikan diri. Soal ekspresi, saya suka dengan kata-kata. Kata-kata seringkali membebaskan saya untuk mengungkapkan diri di tengah dunia yang seringkali menuntut untuk mengikuti ini, mengikuti itu. Bagi saya kata-kata seperti angin segar dan air yang jernih. Ia berhembus dan mengalir. Dunia seakan membentuk dirinya, namun ia dapat melesati bentuk-bentuk itu. Ia menempati ruang-ruang yang sering tak terjamah, yang kering, yang sumpek, yang membosankan. Ia menerobos ruang-ruang. Kadang kata-kata juga seperti cahaya. Ia gelombang elektromagnetik yang tak membutuhkan medium untuk merambat. Ia diradiasikan oleh keinginan. Keinginan mengungkapkan hal-hal yang ingin saja diungkapkan. Keingi

Maka Aku Ada

Aku berpikir maka aku ada? Aku berkarya maka aku ada? Aku merasa maka aku ada? Atau Aku ada maka aku berpikir? Aku ada maka aku berkarya? Aku ada maka aku merasa? Aku ada karena aku dicinta Karena seorang koma masih ada karena ia dicinta Seorang bayi masih ada karena ia dicinta Hati yang remuk masih ada karena ia dicinta Yang tersesat dan mencari masih ada karena ia dicinta Kenapa lagu cinta hanya untuk Minggu dan Sabtu? Untuk yang membuat hari Senin menjadi hari Senin, Dan Jumat menjadi hari Jumat, Yang membuat pukul tujuh menjadi pukul tujuh, Dan pukul tujuh belas menjadi pukul tujuh belas, Mengharu biru kalbu menyaru, Berdetak decak dada terasa! Kepada Dikau yang Mahacinta, aku terpesona!

Resensi ++: How to Create a Mind

The Brain--is wider than the Sky-- For--put them side by side-- The one the other will contain With ease--and You--beside-- The Brain is deeper than the sea-- For--hold them--Blue to Blue-- The one the other will absorb-- As Sponges--Buckets--do-- The Brain is just the weight of God-- For--Heft them--Pound for Pound-- And they will differ--if they do-- As Syllable from Sound --Emily Dickinson "Kalau lu punya kekuatan super, lu mau punya kekuatan apa?" "Baca dan mengendalikan pikiran" --sebuah percakapan di kedai kopi saat saya masih mahasiswa calon sarjana Otak dan pikiran merupakan dua dari beberapa hal yang sering membuat saya terpesona, meskipun tidak banyak buku yang sudah saya baca mengenai pikiran. Seingat saya, hanya tiga buku mengenai pikiran dan otak yang benar-benar saya baca sampai tuntas: Pertama mengenai cara berpikir kreatif dari sebuah buku lusuh di perpustakaan sekolah waktu SMA. Meski saya tidak terlalu su

Merayakan Diri

Akhir pekan ini merupakan akhir pekan yang saya tunggu-tunggu dan nikmati. Bukan karena ada apa-apanya, tapi justru karena tidak ada apa-apanya. Bangun pagi, lembur ke kantor untuk melakukan pekerjaan yang seakan kencan rahasia--karena semenyenangkan apapun, tidak bisa saya bagikan kepada publik, bahkan harus sengaja saya rahasiakan--sampai dengan pagi menjelang siang, membuka catatan apa yang mau saya kerjakan akhir minggu ini, latihan paduan suara untuk tugas ibadah besok, pulang ke tempat saya mengganjal kepala hampir setiap malam dalam sekitar satu tahun terakhir, dan menikmati sendiri dengan mengamati hari-hari diri ini berlari. Sebagian waktu sadar saya akhir-akhir ini saya habiskan dalam pekerjaan saya. Kesempatan menikmati sendiri ini mau saya dedikasikan untuk mengomentari pekerjaan saya dan diri saya secara publik--sebelum saya dikomentari orang lain seperti acara-acara televisi atau warganet hari-hari ini. Pekerjaan saya merupakan salah satu pekerjaan yang sepi, tidak ba

Naif

Malam awal libur panjang, kesenggangan, dan sendiri adalah bumbu yang sedap memasak kata-kata. Perut yang kosong, diisi nostalgia. Kala pemuda bodoh menyelimuti maksud dengan bahasa sarat makna dan aksara. Entah setengah mau atau benar-benar malu. Mungkin hanya mulut kaku tak pernah mengucap rindu atau muka yang ogah tersipu. Kerlip berserak ramai semesta raya. Berantak seenak, tak sadar suasana. Pemuda bodoh sempoyongan. Langkah beriring tak punya bahan bicara. Sendiri ingin bertemu, berdua tapi hanya membisu.