Langsung ke konten utama

Merayakan Diri

Akhir pekan ini merupakan akhir pekan yang saya tunggu-tunggu dan nikmati. Bukan karena ada apa-apanya, tapi justru karena tidak ada apa-apanya. Bangun pagi, lembur ke kantor untuk melakukan pekerjaan yang seakan kencan rahasia--karena semenyenangkan apapun, tidak bisa saya bagikan kepada publik, bahkan harus sengaja saya rahasiakan--sampai dengan pagi menjelang siang, membuka catatan apa yang mau saya kerjakan akhir minggu ini, latihan paduan suara untuk tugas ibadah besok, pulang ke tempat saya mengganjal kepala hampir setiap malam dalam sekitar satu tahun terakhir, dan menikmati sendiri dengan mengamati hari-hari diri ini berlari.

Sebagian waktu sadar saya akhir-akhir ini saya habiskan dalam pekerjaan saya. Kesempatan menikmati sendiri ini mau saya dedikasikan untuk mengomentari pekerjaan saya dan diri saya secara publik--sebelum saya dikomentari orang lain seperti acara-acara televisi atau warganet hari-hari ini.

Pekerjaan saya merupakan salah satu pekerjaan yang sepi, tidak banyak orang yang mencita-citakannya, lebih sedikit lagi yang benar-benar mempersiapkannya, dan akhirnya hanya beberapa yang benar-benar memilihnya setelah dianggap siap. Di Indonesia, upahnya tidak sebesar omset tukang nasi goreng keliling atau bahkan tukang ojek panggilan atau bahkan beberapa pengemis. Upah yang mungkin memang tidak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diembannya. Seseorang pernah mengatakan:

"Ketika seorang dokter melakukan kesalahan, satu orang mati. Ketika seorang insinyur (penerbangan) melakukan kesalahan, banyak orang mati."

Yah, bagaimanapun, semua itu saya syukuri dan lebih dari itu saya nikmati.
Upah itu cukup bagi saya untuk makan tiga kali sehari, pulang ke Jakarta dan kembali ke Bandung sebulan sekali, mencuci baju, membayar premi asuransi kesehatan, mengisi bahan bakar motor pribadi, membayar ruang tinggal sementara sebesar enam belas meter persegi, dan menabung sisanya yang hampir sebesar semua pengeluaran saya tadi.
Setiap hari kerja; mata, tangan, pikiran, dan hati saya tertuju pada sesuatu yang kelihatan sulit, tapi saya tahu bahwa ini sangat bernilai bagi orang banyak dan banyak orang. Kadang tidak sulit, justru sangat remeh dan membosankan. Besar atau kecil, sulit atau mudah, semua kini saya terima sebagai kesempatan belajar tanpa ekspektasi posisi atau harga diri. Hanya supaya lebih memahami dan menguasai diri.

Saya sadari, hari ini saya sedang menjadi orang yang lebih sederhana daripada yang saya pikirkan, daripada yang saya idam-idamkan semasa remaja, bahkan cenderung tidak banyak lagi yang saya pedulikan. Saya tidak berusaha untuk mengubah lingkungan, hanya beradaptasi. Saya tidak punya ambisi untuk menjadi inspirasi bagi muda-mudi. Saya hanya ingin merancang pesawat dan melakukan itu dengan sebaik-baiknya dan berharap hal itu dapat berkontribusi bagi dunia yang lebih diidamkan, setidaknya untuk Indonesia, dan setidaknya itu juga yang masih saya lakukan.

Saya hanya saya, saya tidak mencoba menjadi siapa-siapa selain menjadi saya, saya hanya ingin melakukan apa yang menurut saya harusnya saya lakukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di...

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa...

Kompleksitas Ikhtisar Rasa di Akhir Dekade

Minggu kedua bulan dua belas saat udara beku jadi selimut. Pancar surya menerobos bilik rehat menjamah benak yang mulai membeku menghangatkan karsa menata kata. Di tengah hari tak banyak kebisingan, ketika berhenti merekam dan mengolah berkas-berkas rasa datang dan pergi, tujuh purnama terbit di atas punggung seekor harimau Asia Seperti bermimpi saat membuka mata ini drama dan realita apa yang di hadapanku layaknya merengkuh kabut ada, terasa dekat, terlihat, namun tak tergenggam atau sebuah kerlip kota dari kejauhan terlihat indah tapi tidak jelas dan justru itu maka terlihat indah. Seperti mengumpulkan serpihan es yang menyelimuti dedaunan kering musim gugur setelah hujan pada musim dingin: menarik, rumit, dan dingin. Akankah komunitas imajiner ini hanya jadi imajinasi dengan banyak sensasi dan publikasi tanpa esensi? lain di mulut, lain di aksi? Akankah anak rahim Ibu Pertiwi selamanya mau mendekadensi diri? Lemah hati, lemah akal, lemah teknologi....