Langsung ke konten utama

Mengenai Matematika

Pukul 0:12, dini hari. Tadinya mau membuat catatan ini malam hari, tapi saat membuka laptop pukul 21 tadi, otak saya menggerayang ingin membaca dan menulis tentang konsep matematika yang pernah saya pelajari dan mencoba memetakannya. Beberapa tahun terakhir ini saya baru menemukan cara belajar pribadi dan akhirnya menggunakan cara itu untuk banyak hal. Prinsipnya adalah mencoba menggali dan mengontemplasikan apa yang sudah saya pelajari atau bahkan hanya saya dengar, lalu mencoba mngorganisasikan pengetahuan-pengetahuan itu dengan apa yang sudah saya pelajari sebelumnya. Hal ini saya lakukan setelah membaca beberapa buku yang berkaitan dengan bagaimana cara otak menerima informasi dan menyimpannya.

Ada sebuah ambisi tersendiri saat mencoba merangkum apa yang pernah saya pelajari mengenai matematika sampai hari ini. Saya ingin mencoba menuliskan ulang konsep-konsep dalam matematik dalam sebuah kesatuan yang lebih mudah dicerna. Saya merasa selama 24 tahun kehidupan, dari belajar berhitung saat TK sampai dengan menyelesaikan jenjang S2, matematika adalah suatu momok yang seringkali saya hindari. Banyak hal yang tidak saya mengerti sejak SMP dan sejak saat itu, saya sulit mengikuti pelajaran matematika di jenjang-jenjag selanjutya. Betul kata beberapa ahli matematika, matematika adalah sebuah proses logika yang berkesinambungan. Ia bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari secara sepotong-sepotong untuk mendapat sebuah pengertian yang jelas. Kalau saya boleh mengulang semua jenjang pendidikan, saya akan mempelajari matematika dari awal dengan paradigma seperti ini. Matematika mungkin akan lebih mudah dipelajari setelah belajar berfilsafat. Melalui filsafat, seseorang dilatih untuk berpikir lebih dalam dan lebih teratur dengan dasar-dasar argumen yang juga dicermati dengan baik. Hal-hal itu merupakan dasar kemampuan yang diperlukan untuk mempelajari matematika.

-sepenggal catatan harian tanggal 16 Juni 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di...

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa...

Kompleksitas Ikhtisar Rasa di Akhir Dekade

Minggu kedua bulan dua belas saat udara beku jadi selimut. Pancar surya menerobos bilik rehat menjamah benak yang mulai membeku menghangatkan karsa menata kata. Di tengah hari tak banyak kebisingan, ketika berhenti merekam dan mengolah berkas-berkas rasa datang dan pergi, tujuh purnama terbit di atas punggung seekor harimau Asia Seperti bermimpi saat membuka mata ini drama dan realita apa yang di hadapanku layaknya merengkuh kabut ada, terasa dekat, terlihat, namun tak tergenggam atau sebuah kerlip kota dari kejauhan terlihat indah tapi tidak jelas dan justru itu maka terlihat indah. Seperti mengumpulkan serpihan es yang menyelimuti dedaunan kering musim gugur setelah hujan pada musim dingin: menarik, rumit, dan dingin. Akankah komunitas imajiner ini hanya jadi imajinasi dengan banyak sensasi dan publikasi tanpa esensi? lain di mulut, lain di aksi? Akankah anak rahim Ibu Pertiwi selamanya mau mendekadensi diri? Lemah hati, lemah akal, lemah teknologi....