Langsung ke konten utama

Gelitik Kata Canggihmu: Logika


Saya teringat jaman-jaman masa orientasi Keluarga Mahasiswa ITB 1 tahun terakhir ini: demam penggunaan kata-kata canggih macam logika, dialektika, retorika, dan lalalanya sepertinya mewarnai dinding-dinding kampus. Sampai saat ini pun, saya masih sering canggung dan terharu jika disapa menggunakan kata-kata canggih macam diatas tadi dalam diskusi-diskusi "cerdas".

Dari sekian kata canggih diatas, hari ini saya hanya ingin sedikit mengupas satu: Logika

Apa itu logika?

Yah, kita mulai dengan selentingan-selentingan penggunaan kata ini di berbagai tutur kata yang acak saya temui hari ini (maafkan cara saya mengutip yang suka-suka saya):

"Cinta ini kadang kadang tak ada logika" -Agnes Monica

"Saya pernah terpaksa membayari mobil yang di depan saya karena dia tak pakai e-toll card, jadi biar cepat. Logika yang harus kita pakai adalah, pertama orang mau bayar kok sulit. Lalu kedua masuk jalan tol mau cepat kok malah jadi lama," tutur mantan Dirut PLN itu. Kedua logika tersebut bisa diselesaikan dengan produk e-toll pass ini. Sebenarnya produk e-toll card sudah ada sejak 2006, namun sekarang dimodifikasi dengan e-toll pass.
-detikFinance, Rabu, 30/11/2011 17:39 WIB

"Di negara ini semua orang melakukan sesuatu itu tidak berdasarkan logika, Namun berdasarkan sebuah teori. Contohnya saja dengan pembuatan TransJakarta, menurut saya ini tidak tepat. Belum adanya busway (TransJakarta) saja kita sudah macet," ujar Darwis Triadi Photografer Senior Indonesia.
-detikOto, Sabtu, 03/12/2011 15:41 WIB

"yah, logikanya ga bisa begitu, Ak" -seorang loper koran


Seperti biasa, saya akan mulai mengupas kata ini berdasarkan pengertian etimologisnya. Logika dalam bahasa indonesia (setau saya) merupakan serapan dari bahasa Inggris: logic dan seringkali menjadi akhiran bagi cabang-cabang ilmu modern (misalnya -logi pada biologi, geologi, etimologi, astrologi). Logic sendiri berakar dari kata logos yang berasal dari bahasa Yunani dan dipopulerkan penggunaannya--mungkin untuk pertamakalinya--dalam diskusi filsafat Yunani Kuno oleh Heraclitus (535–475 SM) (yang mungkin namanya tidak asing bagi pembaca Dunia Sophie). Logos kurang lebih berarti "sebuah dasar", "sebuah pendapat", "sebuah ekspektasi", "pidato," "alasan".

Logika merupakan salah satu cabang filsafat yang praktis. Kalau biasanya yang terlintas saat kita berbicara filsafat adalah abstrak, membingungkan, dan tidak pernah menyentuh keseharian, logika merupakan salah satu cabang filsafat yang bisa dipergunakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengutip Soekadijo dalam Logika Dasar, Tradisional, Dimbolik dan Induktif , logika secara istilah dapat kita katakan sebagai suatu metode atau teknik yang digunakan untuk meneliti ketepatan pemikiran--dan seperti yang kita semua ketahui, manusia normal itu berpikir dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat di kamar mandi.

eit, meneliti ketepatan pemikiran?

Dengan cara apa?

Kalau kita super-sederhanakan, dasar-dasar logika sebagian besar tidak jauh-jauh dari sebuah sistem sederhana untuk mengukur ketepatan pemikiran. Salah satu sistem sederhana untuk meneliti ketepatan pemikiran tadi adalah dengan salah satu dasar logika: silogisme.

(1) kumpulkanlah beberapa premis atau pernyataan
(2) carilah hubungan antara satu premis dengan premis yang lain
(3) buatlah kesimpulan yang tepat dari premis-premis tersebut

Contoh sebuah silogisme:

Premis (1): Hanya orang ganteng yang boleh berpasangan dengan binatang cantik

Premis (2): saya ganteng

Kesimpulan: saya boleh berpasangan dengan binatang cantik.

Tepat?

Tidak peduli bagaimana premis itu bisa didapatkan, kalau kita amati, berdasarkan silogisme sederhana, pernyataan diatas sudah tepat. masalahnya bagaimana membuktikan kebenaran premis tersebut?

Pembuktian kebenaran premis bisa dilakukan secara rasional ataupun empiris. Pembuktian secara rasional sering kita temui dalam matematika (beberapa tokoh penggerak aliran rasional ini adalah Decrates, Spinoza, dan Leibniz) sedangkan secara empiris dapat kita temui dalam ilmu-ilmu yang menggunakan pengalaman empiris seperti fisika, biologi, kimia (beberapa tokoh penggerak empiris ini adalah Hume dan Barkeley). Rasional identik dengan yang bisa dibuktikan hanya lewat akal, empiris identik dengan yang bisa dibuktikan lewat alat indera kita. Kedua aliran ini menimbulkan perdebatan berlarut di Eropa hingga munculnya Immanuel Kant (yang mukanya saya pajang di awal tulisan ini) yang mendamaikan keduanya. Bagaimana ceritanya? ya, silakan caritau sendiri

Berdasarkan urutan penalaran, logika bekembang menjadi: induktif, deduktif, dan--yang baru saja saya ketahui--retroduktif.

Metode deduktif berjalan dari teori menuju observasi atau pencarian (dan karena saya harus segera melanjutkan tugas saya yang lain, sisanya silakan caritau sendiri).

Logika memang seperti alat super yang bisa menjawab berbagai permasalahan, namun apakah logika bisa menjawab semuanya?

Dapatkan pertanyaan seperti ini dijawab hanya dengan logika:

"Tepatkah seorang ibu memarahi anaknya saat mendapati anaknya bermasalah di sekolah?"


"Apakah yang seharusnya menjadi ciri khas mahasiswa saat ini?"


"Untuk apakah sebaiknya uang di dompet saya ini saya habiskan?"


atau

"Apakah yang paling berarti dalam hidup?"


.......



Haha, tidak usah terlalu kita pikirkan dulu, semoga saya bisa melanjutkan pembahasan tentang pertanyaan-pertanyaan barusan di tulisan berikutnya.

Selanjutnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah teka-teki:

Adalah dua kakak beradik yang jumlah umurnya 12 tahun. Yang satu 11 tahun lebih tua dari yang lain. Berapakah umur mereka masing-masing?

(jawabnya ada di bawah ini)
















Jawaban:

Sang kakak berumur 11 tahun 6 bulan, dan sang adik berumur 6 bulan.

eng, ada yang aneh?

coba gunakan logika matematika sederhana untuk menjawab pertanyaan diatas, dan semoga pembaca akan menemukan ketepatan dari jawaban di atas--ah, maaf, logika matematika belum saya kupas, haha.

Selamat H-23 hari menjelang akhir tahun!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di