Langsung ke konten utama

Terompet Naga Merah


Jam tangan hitam saya menunjukkan pukul 17 lewat beberapa menit. Sepatu dinas harian hitam menemani langkah pertama saya menggelandang Bandung di malam terakhir tahun 2011.

Walau baru kali ini saya menghabiskan malam akhir tahun dengan menggelandang, intuisi saya mengatakan seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak sekali penjual terompet yang saya akan temui sepanjang jalan. 

Sepertinya makin tua, saya makin mirip anak bayi. Saya melihat dunia seakan belum pernah saya lihat, semua seakan hal yang samasekali baru. Tidak ada yang wajar-wajar saja, ataupun "ya, memang biasanya udah gitu", atau "ya, emang tradisinya begitu". Biar tiap tahun yang namanya penjual terompet itu identik denan masa pergantian tahun, saya tidak lumrah menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa. 

 "Kenapa mereka selalu ada di masa pergantian tahun?"

"mungkin karena orang-orang biasanya merayakan tahun baru dengan meniup terompet."

"Kenapa Tahun baru dirayakan dengan meniup terompet?"

...

“hmm, kenapa ya?”

Yah, pertanyaan itu saya tuliskan dalam buku catatan kecil saya untuk saya cari jawabannya sesampainya di kampus lagi.

Saat menyusuri jalan Dago, di depan SMAK Dago, langkah saya terhenti. Seorang Ibu separuh baya ditemani anak laki-lakinya yang saya taksir berumur sekitar 10 tahun menjajakan aneka terompet yang keliatannya biasa. Saya tertarik dengan sebuah terompet berbentuk naga. Naga warna merah metalik. Panjangnya kira-kira sepanjang tongkat bisbol. "Ah, tahun depan kan tahun naga, kayaknya oke juga kalo saya beli", benak saya.

Harganya tiga puluh ribu rupiah

Iseng, saya menawar.

 "Bu, tiga, 40 ribu ya?" 

Memang tawaran saya tak langsung diiyakan. Namun, mungkin berhubung, malam itu adalah satu-satunya kesempatannya bagi beliau untuk berjualan terompet—karena besok tidak akan ada perayaan tahun baru lagi—ibu yang juga karyawan kantin Maranatha tadi melepas kepergian 3 terompetnya dan selembar 10 ribu rupiah sedang saya melepas lembaran 50 ribu.

"Marnat masuk lagi kapan, Bu?"

"Tanggal 3 udah masuk, Mas"

"Oh, cepat juga ya?"

Saya menghela sejenak. Beberapa topik pembicaraan lagi dengan Si Ibu dan saya sama sekali tidak merasa rugi mengeluarkan 40 ribu rupiah.

"Oke deh, saya mau lanjut jalan-jalan lagi, Bu. Selamat Tahun Baru!"

Tiga terompet tadi menemani saya sampai akhir perjalanan menggelandang saya hari ini. Satu buah terompet berisik, satu buah terompet berwarna merah-hijau layaknya hiasan pohon natal, dan—yang paling saya sukai—seekor naga merah metalik—yang menakuti terompet-terompet lain di sekitar saya. Sepertinya sepanjang perjalanan, semua mata memandang ketiga terompet yang saya gantung di tas punggung.

 OH YEAH! Akhirnya saya punya seekor naga terompet atau sebuah terompet naga—sesuatu yang rasanya sangat tidak mungkin saya dapatkan 10 tahun lalu meski saya merengek-rengek di depan mami papi.


Perjalanan saya lanjutkan menelusur jalan juanda ke arah selatan. Lalu lintas kendaraan masih cukup lenggang walau langit sudah gelap. Dago Plaza, Bandung Indah Plaza, Balai Kota Bandung, Gereja Katedral, Gedung Bank Indonesia, sampai Jalan Braga.

Saya bosan kalau harus mendeskripsikan Jalan Braga dengan bahasa yang romantis—kayaknya masih banyak pelancong lain yang akan dengan sukarela menceritakan Braga dengan demikian romantisnya (apalagi saya jalan sendirian saja)—pokoknya kira-kira pukul 19:00 waktu setempat, belum terlihat keramaian seperti yang saya bayangkan. Jalan masih lenggang, masih banyak ruang kosong disana. Disini, sepanjang Jalan Braga, gelandangan dan pengemis sepertinya tidak pernah mengurangi keindahan dan romantisme Braga.

Begitulah Braga yang legendaris namun sedikit membosankan bagi saya sampai berlanjutlah perjalanan saya sampai di ujung jalan itu: Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA).

Saya tak merencanakan pergi ke museum ini (karena sebelumnya bahkan saya tidak tahu dimana tempatnya). Rupanya pada tanggal 31 Desember 2011, Museum Konperensi Asia Afrika punya program "Night at The Museum" untuk memperingati 50 tahun Gerakan Non-Blok.

Oh, WAW! Sebuah kejutan yang sangat menyenangkan buat saya! Bisa menghabiskan malam tahun baru pertamakalinya di sebuah museum yang buka pada waktu malam hanya satu kali itu saja di sepanjang tahun 2011—eh, saya tidak tahu sih. Paling tidak, kayaknya cuma hari itu saja sepanjang bulan Desember 2011—dan tahun ini rupanya adalah ulang tahun emas, ulang tahun ke 50 gerakan Non-Blok!

Ketika memasuki museum, pertama-tama Anda akan diajak menonton sebuah video tentang Gerakan Non-Blok (GNB). Video yang cukup informatif tentang GNB. Setelah menonton film yang saya lupa durasinya, bak seorang tamu istimewa, rombongan pengunjung MKAA dipandu untuk mengunjungi pameran bertema GNB dan ruang koleksi tetap museum oleh....Anda bisa tebak siapa?

Sang Kepala MKAA sendiri!

Puas menyambangi sebuah museum yang jelas-jelas bersejarah, malam itu saya tidak bisa diam. Keluar dari museum, saya menyebrang Jalan Asia-Afrika karena tertarik melihat sebuah gedung di bagian tenggara museum KAA. Lampu kuning temaram menghiasi gedung itu, menampilkan kesan teduh misterius, mempesona, di depannya berdiri tegak sebuah prasasti Dasa Sila Bandung, dan benar saja, itu adalah Hotel Savoy Homann yang bersejarah itu! Berhadapan dengan gedung hotel bersejarah tadi, sebuah gedung bersejarah lain seakan menyapa saya. Hai...

Gedung Harian Pikiran Rakyat. Sebuah mesin tik kuno seakan setia menjadi penerima tamu di pagar depan gedung.

Hebat! Saya benar-benar baru sadar sedang berkuliah di tempat yang 50 tahun silam sempat menjadi ibu kota negara-negara se-Asia-Afrika.

Pikir saya menerawang ke 50 tahun silam.

Mungkin saja lantai trotoar tempat saya berdiri ini pernah diinjak oleh para pemimpin gerakan Non-Blok.

Nehru, Soekarno, Hatta, atau Tito?

Tapi ehh, kenapa mereka? Seingat saya, kan sejak KTT awal sampai sekarang, belum pernah ada KTT yang diadakan di Bandung. 

Yah...

Okelah, paling tidak, lantai ini pernah diinjak oleh saya yang akan buat sejarah hidup saya sendiri. haha. (saya menghibur diri lewat sebuah monolog imajiner)

Terusik dengan sepeda-sepeda onthel yang sempat saya lirik di depan Museum KAA, saya kembali ke arah Museum KAA. Sekali lagi saya merasa hari ini hari keberuntungan saya karena tak jauh dari tempat sepeda onthel tadi diparkir, tepat di seberang jalan, tepat menempel di sebelah barat Museum KAA, di Gedung Merdeka, saya bisa berkenalan dengan mojang-mojang Bandung tahun 2011—tapi sayangnya saya tidak melakukannya. Rupanya Pak Gubernur juga sedang hadir di gedung itu, mengisi acara Kilas Balik Jabar yang memang dilaksanakan tiap akhir tahun. Hanya sedikit yang saya tahu tentang Kilas Balik Jabar. Saya hanya tahu bahwa Kilas Balik Jabar merupakan salah satu acara pemberian anugerah dan penghargaan kepada para penggiat seni di seantero Jabar—sekembalinya saya dari menggelandang, saya baru tahu kalau Gubernur Jabar mengikuti detik-detik pergantian tahun juga di acara itu.

Riang ricuh kembang api tahun baru mencuri perhatian saya, perjalanan saya lanjutkan ke arah barat. Tidak sampai satu kilometer kemudian, Jalan Banceuy, sebuah jembatan penyebrangan yang besar, dan akhirnya Alun-alun kota Bandung saya sambangi. Bagi Anda yang belum pernah mengunjungi Masjid Raya Bandung di hari kerja, ramai-ricuh, gegap-gempita orang-orang disana mungkin akan membuat Anda tidak tahu kalau Alun-alun itu adalah halaman depan sebuah Masjid. Begitu ramai orang disana sampai saya membutuhkan 10 menit untuk melintasi jarak yang berkisar 1 kali panjang lapangan bola Saraga.

Berhenti sejenak di Alun-alun, duduk menikmati hidangan sekoteng hangat seharga lima ribu rupiah sambil mengobrol dengan orang-orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Sebuah serabi "khas kota kembang" berharga seribu rupiah memanaskan lidah saya ketika saya memagutnya sambil berjalan meninggalkan alun-alun.

Ke selatan, saya berjalan lagi. Di sepanjang langkah saya, terlintas ucap syukur karena malam itu saya berjalan sendirian saja. Bebas merdeka, tak punya tanggungan lain yang perlu saya jaga selain diri sendiri, bertualang sesuka saya di tengah kemacetan dan keramaian selatan alun-alun kota bandung di malam itu. Sekali lirik dan tertarik, duit seribu rupiahpun kembali saya rogoh buat beli roti bakar coklat yang sanggup bertahan sampai saya kembali ke museum KAA. Menikmati secangkir bandrek, seporsi somay dan baso tahu gratis yang dihidangkan sahabat museum KAA sambil menikmati suasana hangat kumpul sahabat museum KAA dan "open air live-music" di selasar museum.

Sekitar pukul 22:00, saya angkat pantat meninggalkan museum sambil mengucapkan selamat tahun baru pada beberapa orang yang menemani saya duduk di selasar museum tadi.

Bergegas saya menuju Kebon Seni Tamansari, kembali menuju utara, dari tempat saya berada saat itu, berjalan kaki. Tak sampai satu jam, saya pun tiba di Kebon Seni. Sekitar dua ratusan orang yang gelap mukanya mengitari sebuah panggung kecil. Di panggung kecil itulah, seniman-seniman gendheng yang mungkin terkenal di kalangan pencinta seni antusias mengekspresikan dirinya. Di depan panggung, terangkai kayu-kayu yang tampaknya bakal jadi bahan bakar api unggun. Memanjakan telinga, menikmati rasa teduh temaran, gundah-gulana, gelap-gelapan, mempertajam rasa lewat bermacam suguhan seni sampai jam tangan saya menunjukkan pukul 23:33.

Pukul 23:33
Saya ingin menghabiskan 30 menit terakhir ini di tempat yang spesial. 

Dimana?

.........................................................................................................................


dan disanalah, di Gedung Tengah Pengadilan Tenggelam, di salah satu tempat tidur saya selama dua tahun terakhir, saya menghabiskan sisa hidup saya di tahun 2011 mengetikkan kata-kata yang kini ada di depan mata Anda,

mencari jawaban

kenapa orang menghabiskan hari terakhir mereka di tahun 2011 dengan meniup terompet,

kenapa orang mengucapkan selamat tahun baru,

kenapa orang bisa tidak kesepian meski seringkali harus sendiri.





Dan Seekor Terompet Naga Merah menemani saya menjawab semuanya malam ini.




----------***----------

Seringkali orang merasa ia sepi padahal tak sendiri.

Seringkali juga sendiri, tapi tak sepi. 


----------***----------
Saya sungguh tidak suka dengan kata-kata menggurui saya di bawah ini. Yah, anggap saja, ini hanya berlaku bagi saya.

Biar seringkali kamu harus sepi memperjuangkan apa yang menurutmu pantas kau perjuangkan.

Merasa terlalu banyak yang salah dalam hidupmu.

Teruslah sendiri kalau perlu tapi jangan pernah berhenti bersyukur atas hidupmu.

Hidup itu anugerah

Hidup itu hadiah

Terlalu menyenangkan untuk tidak Anda nikmati dan rayakan hidup walau raga Anda sendiri.

berjuang dan tetap tertawa gembira ria lah. nikmatilah prosesnya.


Selamat Tahun Baru Masehi 2012!

Komentar

  1. serius yud jalan kaki keliling bandung sendirian? lo lebih ekstrim dari gw ternyata..gw paling parah cuma naik motor sendirian bandung-cianjur-bandung jam 11 malem..haha

    mantep lah pengalamannya..monolog2 nya seru, agak terkesan unyu sih..haha

    btw, terompet naga itu impor dari cina lho..gara2 terompet cina itu, terompet2 lokal yang dari kertas jadi ga bersaing lagi..yah namanya juga globalisasi..

    sukses terus yud. selamat tahun baru. :D

    BalasHapus
  2. Hooa! selamat, Anda orang pertama yang komen di blog saya Bung deltaseven, haha.

    dan sekedar tambahan inpo, terompet naga itu dari kertas, dibikin si ibu dan kawan2nya selama beberapa minggu terakhir sebelum jualan. jadi sepertinya 100% lokal. tulisan ini justru sekalian saya maksudkan buat teman2 ngeliat para pengusaha kecil dan seluk beluk hidupnya.

    Selamat tahun baru!

    nb:nanti mungkin gw mau tuliskan perjalanan menggelandang lain, haha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di