Langsung ke konten utama

Saya Menulis Sejauh yang Saya Tahu

Waktu tidak butuh argumentasi bertele-tele untuk terus melaju
Waktu yang tentukan kapan saya harus mulai dan berhenti mencari tahu.

Kebutuhan, hal yang harus dipenuhi. Ia lahir lewat keterbatasan, lewat daging. Seperti waktu, dia ada, tidak perlu alasan untuk mengadakannya.

Kebenaran, saya butuhkan. Selalu saya cari tahu ketika saya dihadapkan pada pilihan. Baik atau buruk, pasrah atau berkehendak, ya atau tidak.
Kebenaran, harus diuji. Sejauh yang saya tahu, itulah caranya bagaimana yang kita tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dan nanti waktulah menentukan kebenaran. Yang benar adalah yang saat ini saya tahu benar. Waktulah yang menentukan “saat ini” itu. (Itukah kebenaran yang berdasarkan pengetahuan? Pengetahuan akan hal yang lalu?). Sebab adakah saat ini kita sudah menemukan kebenaran yang final? Ilmu pastipun masih terus berubah sepanjang hari-hari kemarin. Ilmu pengetahuan berteori, mencoba menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia. Ratusan kalau bukan ribuan teori baru, diajukan dan diuji kebenarannya setiap harinya.

Kebenaran ditentukan oleh waktu dan saya percaya pasti ada kebenaran yang satu, berlaku bagi semua orang.

Tidak tahu, salah satu ketakutan saya. Saya merasa tidak aman ketika saya tidak tahu apa yang penting dan saya butuhkan, ketika saya tidak tahu cara memenuhi kebutuhan saya padahal saya harus memenuhinya. Tidak tahu yang tidak saya sadari, membuat saya hilang kendali atas diri saya.

Tidak tahu, bagi saya bukan hal yang tabu.
Sama-sama tidak tahu adalah salah satu alasan kenapa kita harus dilahirkan berbeda. Salah satu alasan kenapa saya perlu mengampuni seseorang sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Salah satu alasan kenapa saya bisa mengampuni musuh saya. Salah satu alasan kenapa manusia itu harus berbagi. (kalau semua itu memang perlu alasan)

Tidak tahu, juga alasan kenapa saya perlu mempercayai ada yang Mahasempurna, ada Sang Mahaguru. Tanpa kepercayaan itu, mungkin saya tidak ingin lama-lama hidup sampai saat ini dengan cara seperti ini. Lalu apakah menurut saya hidup saya kini berarti? Sampai saat saya menulis ini, saya merasa demikian. Saya ingin mencari bagaimana hidup yang lebih berarti. Kalaupun nanti hidup saya ternyata belum berarti, saya ingin mengisinya menjadi berarti.

Menjadi manusia adalah hal yang sampai saat ini saya belum tahu.

Kenapa manusia perlu percaya akan hari depan lebih baik? Sejauh yang saya tahu, itulah yang membuat manusia berani menghadapi perubahan, bahkan setelah ajal menjemput seorang manusia. Mau tidak mau, suka tidak suka, tidak ada yang berubah adalah sebuah kemustahilan dan manusia harus menghadapinya. Kalau dirasa sudah tidak ada yang berubah, setidaknya waktu akan terus bertambah, akan terus berubah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saat saya menulis tulisan ini, pikiran saya banyak berubah. Hal yang tadinya saya pikir sederhana, ternyata lebih rumit dari sebelum saya memikirkannya. Yang tadinya saya pikir rumit ternyata lebih sederhana dari pikiran saya. Dulu saya pikir hanya keberanian yang satu-satunya menggerakkan seseorang untuk melakukan yang tidak diketahuinya, tapi ternyata kebutuhan juga menggerakkan manusia untuk melakukan yang tidak diketahuinya. Lalu apakah keberanian bersumber pada kebutuhan? Sejauh ini, saya belum cukup yakin bahwa saya tahu.

Saat saya menulis, saya menyadari bahwa banyak yang saya pikir saya tahu, ternyata tidak saya ketahui.

Saya belum tahu pasti kenapa saya terus menulis,
Namun kalau boleh beralasan, sejauh yang saya tahu, terus menulis, akhirnya adalah salah satu hal yang membuat saya menyadari bahwa selalu ada hal yang tidak benar-benar saya tahu,
membuat saya lebih tahu apa yang tidak saya ketahui,
dan akhirnya membuat saya tahu hal apa yang butuh untuk saya cari tahu.

Jadi, selamat kembali menulis, menulis, dan menulis!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di