Langsung ke konten utama

Estafet Negeri Dongeng

Seorang pemuda duduk di depan lapangan hijau. Tatapannya kosong, tanpa ekspresi, seperti yang biasanya ia lakukan saat sendirian. Pikirannya mengabstraksi manusia-manusia yang berjalan lalu lalang dihadapannya dan manusia-manusia yang pernah ditemuinya. Ia mencoba mencari hal yang sama diantara dirinya dan mereka: intisari dari ide-ide manusia, tentang kebenaran, kebaikan, keadilan, kemerdekaan, Tuhan, dan apapun yang selintas lalu dalam pikirannya. Ia yakin dirinya tidak tahu apa-apa tentang dunia tempat cerita ini dibuat. Ia mungkin sadar kalau dirinya hanyalah seorang tokoh dalam sebuah cerita pendek.

Seorang pemudi duduk di depan lapangan hijau. Ia duduk di sebelah seorang pemuda.

Sambil sedikit berbasa-basi, pemuda itu memberikannya sebuah surat yang isinya tak kalah basa-basi. Pemudi itu membaca surat ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Selesai membaca surat  yang tidak selesai itu, pemudi tadi sadar kalau pemuda di sebelahnya sudah pergi.

Ia pun mulai sadar dirinya hanyalah tokoh rekaan dalam sebuah blog. Semua tingkah lakunya diceritakan dalam blog itu.

Namun ia tak peduli. Melawan ia tak kuasa. "Lagipula apa gunanya?" pikirnya. "Siapa tahu pembuat kisahku ini pun hanyalah seorang tokoh karangan dalam cerita yang lebih besar?"

"Hmmmmmm. Sepertinya aku punya ide bagaimana cerita ini dilanjutkan. Lebih baik kalau pengarangku pun tak tahu apa yang mau kutulis"

Ia melanjutkan surat yang belum selesai itu sebaik mungkin. Ia memberikannya pada seorang pemuda lain untuk dilanjutkan—sambil berharap surat itu dilanjutkan kepada yang lain.

Ia melanjutkan cerita bersambung tentang mereka semua yang hanya ada dalam negeri dongeng.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di...

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa...

Kompleksitas Ikhtisar Rasa di Akhir Dekade

Minggu kedua bulan dua belas saat udara beku jadi selimut. Pancar surya menerobos bilik rehat menjamah benak yang mulai membeku menghangatkan karsa menata kata. Di tengah hari tak banyak kebisingan, ketika berhenti merekam dan mengolah berkas-berkas rasa datang dan pergi, tujuh purnama terbit di atas punggung seekor harimau Asia Seperti bermimpi saat membuka mata ini drama dan realita apa yang di hadapanku layaknya merengkuh kabut ada, terasa dekat, terlihat, namun tak tergenggam atau sebuah kerlip kota dari kejauhan terlihat indah tapi tidak jelas dan justru itu maka terlihat indah. Seperti mengumpulkan serpihan es yang menyelimuti dedaunan kering musim gugur setelah hujan pada musim dingin: menarik, rumit, dan dingin. Akankah komunitas imajiner ini hanya jadi imajinasi dengan banyak sensasi dan publikasi tanpa esensi? lain di mulut, lain di aksi? Akankah anak rahim Ibu Pertiwi selamanya mau mendekadensi diri? Lemah hati, lemah akal, lemah teknologi....