Untuk kesekiankalinya selama berkuliah di Bandung, saya
kehilangan kunci kost. Untuk kesekian kalinya pula, saya berjalan kaki menuju
Jalan Tubagus Ismail, berharap menemui tukang duplikat kunci yang biasanya
menjajakan dirinya di samping barisan ibu-ibu penjual sayur.
Bapak itu menggunakan jaket dengan tudung terpasang berwarna
merah.
“Pak, duplikat kunci”
Dia berdiri. Wajahnya terlihat lebih antusias daripada saat
dia duduk tadi, walau tanpa senyum.
Saya serahkan kunci serep yang saya pinjam dari ibu kost.
Dia mengambilnya dan mulai menyalakan mesin ajaibnya. Mesin itu memang bukan
untuk pertamakalinya saya lihat, namun saya masih menikmati cara kerjanya.
Benda itu bekerja seperti mesin pemotong ubin atau gergaji
mesin, memahat lekukan-lekukan pada kunci duplikat. Kunci yang mau ditiru dan
kunci yang “dipahat” sama-sama dijepit di sebuah jepitan statik.
Gerakan dua
kunci tadi selalu sama, meski letaknya selalu berbeda sekitar lima belas senti
satu sama lain.
Tidak sampai lima menit, di depan mata saya sudah ada dua
buah kunci yang bentuknya sama persis.
“memang setiap hari ada yang mau duplikat kunci ya?”
“iya”, jawabnya singkat. kali ini sambil tersenyum.
Kali ini saya sedang malas bicara soal analisis ekonomi,
pemberdayaan kaum kecil, ataupun gerakan sosial. Saya cuma kagum. Bagi saya,
pekerjaan itu sepertinya tidak menarik untuk dikerjakan seumur hidup, namun
menduplikat kunci tetaplah sebuah pekerjaan yang hebat.
Tukang duplikat kunci yang berdedikasi tidak lebih rendah dengan seorang dokter
spesialis bedah syaraf. Hanya sedikit orang mau melakukannya, meski banyak
orang membutuhkannya.
Kemana orang-orang seperti saya harus mencari kunci duplikat,
jika tidak ada tukang duplikat kunci?
Komentar
Posting Komentar