Langsung ke konten utama

Menyambut Hari Kebangkitan Nasional: Mahasiswa ITB harusnya ngapain?[1]


Pukul 23.00 tadi malam, telepon selular saya bergetar.

“Yud, sekarang lagi di kampus? Ketemuan yuk, pada pengen ngobrol-ngobrol seputar HarKitNas nih,” suara seorang laki-laki di seberang sana.

“Oke”, saya menjawab singkat

 Memakai sandal warna biru, meninggalkan laptop di sekretariat unit, saya berjalan dari gedung tengah Sunken Court menuju angkringan depan Gerbang Ganesha.Tak sampai 15 menit kemudian, saya sudah mendapati diri saya berada di tengah sanak saudara saya.

Harkitnas : Momentum untuk Bangkit

Sejak dua minggu yang lalu, saya mulai putar otak mencari pesan apa yang mau disampaikan dalam kesempatan sekali setahun ini. Baiklah, kita mulai dengan pertanyaan pertama: Sebenarnya apa sih yang kita rayakan saat HarKitNas?

Sejenak saya buka komputer saya dan berselancar dalam lautan informasi.
Kebangkitan Nasional adalah Masa dimana Bangkitnya Rasa dan Semangat Persatuan, Kesatuan, dan Nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan Belanda dan Jepang. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

Kalimat di atas saya kutip persis dari laman Wikipedia yang saya akses pukul 13.00 waktu ITB. Beberapa kata yang langsung menarik perhatian saya: bangkit, semangat, persatuan, kesatuan, kesadaran, memperjuangkan.

Sebelum berbicara lebih jauh, agar tulisan ini tidak “berbahasa langit”, saya akan membatasi pembahasan tentang Kebangkitan Nasional ini. Saya akan coba hubungkan kata-kata tadi dari sudut pandang saya. Sesuai judul tulisan ini, saya mau mengambil sudut pandang “saya sebagai seorang mahasiswa ITB”.


Mahasiswa ITB: Siapa?

Mahasiswa ITB mau tidak mau adalah bagian dari warga Kota Bandung (meski sebagian tak punya KTP Bandung) dan seorang warga negara Indonesia, mau tidak mau menjadi bagian dari caci-maki dan puji-sanjung bagi Bandung dan Indonesia. Dari berbagai entitas yang membentuk masyarakat, apa artinya dan uniknya entitas bernama mahasiswa ITB sehingga tidak bisa digantikan oleh entitas lain dalam masyarakat? Menurut saya ada beberapa hal:

1.       Kedewasaan seorang manusia dapat dilihat dari kemandirian, kesadaran, dan kecakapannya dalam membuat piihan. Semakin besar konsekuensi akibat pilihan yang dibuatnya, semakin tinggi tingkat kedewasaan seseorang. Mahasiswa merupakan entitas yang memilih mengisi masa mudanya dengan belajar dalam disiplin ilmu tertentu. Memilih? Ya, menurut sistem pendidikan di Indonesia saat ini, berkuliah di perguruan tinggi adalah pilihan, bukan kewajiban. Dari premis-premis yang telah saya sebutkan, saya berani berasumsi bahwa mahasiswa ITB adalah entitas yang dewasa dan sadar akan keputusan-keputusan yang dibuatnya.

2.       Sebagai entitas yang mendedikasikan waktunya untuk mencari ilmu, seorang mahasiswa (seringkali) adalah seorang yang menjunjung tinggi kebenaran ilmiah. Mahasiswa ITB menjadi satu entitas yang tidak berpihak pada kubu manapun dan setia memperjuangkan nilai kebenaran ilmiah. Bagi mahasiswa ITB, 1 tambah 1 akan tetap menjadi 2, siapapun presidennya.

3.       Secara umum, teknologi dipahami sebagai “penerapan dari ilmu pengetahuan”. Teknologi juga merupakan cabang ilmu humaniora, “ilmu yang memanusiakan manusia”, sehingga penerapan ilmu pengetahuan tadi haruslah berfokus pada “bagaimana caranya agar manusia menjadi lebih manusia”. Embel-embel “teknologi”, membuat mahasiswa ITB tidak bisa hanya mengkerdilkan diri dengan menghabiskan waktu dalam ruang kuliah ataupun berkutat di depan buku-buku teks. Mahasiswa ITB (seharusnya) adalah entitas yang mampu merumuskan persoalan dan tantangan sosial yang ditemui di dalam & di luar tembok kampusnya, kemudian mencari dan menerapkan cara terbaik untuk memanusiakan manusia.

4.       “Supaya lulusannya bukan saja menjadi pelopor pembangunan,tetapi juga pelopor persatuan dan kesatuan bangsa”. Doa dan harapan tadi pastinya dapat kita temui ketika keluyuran di sekitaran Plaza Widya Nusantara, bagian tengah Kampus ITB. Dari doa ini, saya menyimpulkan bahwa seluruh proses pendidikan di ITB salah satunya memiliki tujuan untuk membentuk mahasiswa ITB sebagai entitas yang memiliki semangat kepeloporan dalam persoalan persatuan dan kesatuan bangsanya.

Kata kesadaran, memperjuangkan, semangat, persatuan, dan kesatuan dan hubungannya dengan mahasiswa ITB baru saja dibahas di atas. Berarti tersisa satu kata yang tadi telah menarik perhatian saya: bangkit.


Bangkit dari kondisi apa?

Sebagian besar mahasiswa ITB adalah seorang warga Bandung (setidaknya selama berkuliah) dan seorang warga komunitas imajiner yang saya sebut: Indonesia. Kali ini saya akan melakukan analisa-analisa kasar mengenai kondisi terkini kemahasiswaan ITB, Bandung, dan Indonesia dari sudut pandang saya. Penilaian ini mungkin akan terasa sangat sempit ataupun subjektif, tapi buat saya tak apalah. Toh, dengan pandangan saya yang sempit, saya justru memberikan ruang bagi pembaca untuk memberikan pandangannya kan?

Kemahasiswaan di ITB

Sebagai seorang mahasiswa ITB, kemahasiswaan ITB ibarat rahim yang membesarkan saya, memberi saya asupan gizi yang dibutuhkan oleh seorang mahasiswa. Kemahasiswaan ITB yang biasa direpresentasikan dengan Keluarga Mahasiswanya sedang berada dalam masa pergantian kepengurusan di setiap tingkatnya, baik di tingkat terpusat sampai dengan tingkat basis massanya, himpunan mahasiswa jurusan dan unit-unit kegiatan mahasiswa. Kata “Muker” atau musyawarah kerja badan pengurus sepertinya menjadi kata yang sekarang ini sedang populer.

Akhir-akhir ini entah karena apa, kampus terasa semakin kurang dimiliki mahasiswanya. Waktu kuliah yang semakin dipersingkat, berbagai isu penggusuran sekretariat unit kegiatan mahasiswa, isu SPP 10 juta per semester acapkali sering dijadikan alasan kenapa kegiatan kemahasiswaan di ITB terasa meredup. Perubahan status ITB dari Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan Pemerintah (PTP) sejak 12 April 2012 dirasa makin memperbesar jarak antara mahasiswa dengan kampusnya. Perubahan status ITB ini berakibat pada absennya suara langsung mahasiswa dalam struktur organisasi formal ITB, Majelis Wali Amanat.

Bandung

Sebagai seorang mahasiswa ITB, Bandung mau tak mau menjadi tempat menutup mata tiap malam, tempat terima hajat sampai membuangnya tiap hari selama berkuliah di ITB. Persoalan Bandung mau tak mau jadi persoalan seorang mahasiswa ITB. Parijs van Java, ibu kota provinsi dengan penduduk terpadat di Indonesia ini sedang menggeliat dengan pesta demokrasinya: Pemilihan Walikota (PilWalkot) Bandung 2013. Semoga pesta demokrasi ini tak identik dengan terpecahnya masyarakat Bandung dalam kubu-kubu politik tertentu sampai lupa dengan cita-cita bersama untuk Kota Bandung ini.

Yang Kekasih: Indonesia

 Menyambut tahun 2014, media elektronik, layar-layar kaca di rumah mulai ramai dengan jualan  janji calon Presiden RI baik yang sudah terang-terangan mendeklarasikan diri maupun yang masih malu-malu kucing. Berbagai prediksi dan ekspektasi diluncurkan oleh berbagai lembaga studi sosial dan politik tentang siapa bakal kandidat terkuat. Mulai dari Ibu Negara sampai Raja Panggung, mulai dari mantan Panglima TNI sampai dengan Panglima ekonomi, turut meramaikan pesta demokrasi terbesar di NKRI. Tak jarang, banyak aksi simpatik yang tiba-tiba bermunculan. Semoga aksi-aksi ini bukan cuma aksi musiman yang lalu redup sehabis Pemilu 2014 nanti.


Tantangan Mahasiswa ITB di Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2013

Jadi, setelah sedikit mengenal siapa itu mahasiswa ITB sambil berjalan-jalan sejenak, melihat sekilas kondisi terkini dari kemahasiswaan ITB, Bandung, dan Indonesia dari sudut pandang saya, pertanyaan selanjutnya:

Menyambut Hari Kebangkitan Nasional, Keluarga Mahasiswa ITB mau bangkit untuk dan seperti apa?

Mari kita coba tilik kembali dan mencari hubungan antara siapa itu mahasiswa ITB dan analisis kondisi yang telah dilakukan.

Bangkit untuk kemahasiswaan

Berbagai persoalan yang dihadapi kemahasiswaan di ITB seringkali dijadikan alasan untuk berhenti melakukan kegiatan kemahasiswaan dan berhenti pada menyalahkan keadaan.” Jangan salahkan saya ketika saya tidak bisa turun ke jalan atau berhenti berkegiatan! Saya tak punya waktu. Salahkanlah pembuat kebijakaa,  Kenapa memaksa saya lulus cepat-cepat?”. Advokasi mengenai perluasan ruang untuk berkegiatan memang suatu keharusan, tapi ketika advokasi belum menemukan titik temu dan ruang kemahasiswaan masih terasa belum ideal, apakah kita lantas berhenti berkegiatan?

Mahasiswa perlu segera bangkit untuk menjawab tantangan dunia kemahasiswaan ITB saat ini:

Bagaimana tetap membuat kegiatan mahasiswa yang luar biasa ketika mahasiswa semakin kurang difasilitasi oleh almamaternya sendiri?

Bangkit untuk Bandung dan Indonesia

Di tengah suasana politik di Bandung dan Indonesia kian memanas, mahasiswa ITB sebagai entitas yang menjunjung tinggi kebenaran yang tidak memihak, merumuskan dan menjawab tantangan sosial, dan diharapkan menjadi pelopor persatuan dan kesatuan bangsanya harus segera bangkit menjawab tantangan yang diajukan kepadanya:

1.       Bagaimana menjadi garda terdepan yang merumuskan dan menjawab tantangan kota Bandung sebagai Kota yang dicita-citakan warganya dan tantangan terkini yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita nasionalnya?

2.       Bagaimana memastikan netralitas kampus selama masa PilWalkot Bandung 2013 dan PilPres RI 2014?

3.       Bagaimana menjadi pelopor persatuan dan kesatuan Kota Bandung dan Bangsanya di tengah potensi terpecahnya Bandung dan Indonesia dalam kubu-kubu politik?

Itu semua beberapa tantangan yang membuat mahasiswa ITB perlu segera bangkit dan menjawabnya. Lalu bagaimana teknis gerakannya di Hari Kebangkitan Nasional nanti?

Pawai di Car Free Day Dago? Upacara kreatif? Video yang disebar ke seluruh warga dunia? Entahlah, saya sendiri masih belum tahu gerakan seperti apa dalam tataran teknis. Hanya satu hal yang pasti, saya tidak ingin membiarkan momentum kebangkitan nasional ini kembali lewat begitu saja.

#BANGKIT!
Untuk kemanusiaan,
Bandung, 14 Mei 2013



Ignatius Yudki Utama[2]
13609067

_______________________________________________________
[1]Disampaikan menjelang Hari Kebangkitan Nasional, kepada seluruh pengurus unit kegiatan mahasiswa maupun himpunan mahasiswa jurusan sebagai pengantar diskusi mahasiswa dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun 2013.
 [2]Anggota Keluarga Mahasiswa ITB, Anggota Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB; Mahasiswa Program Studi Aeronotika & Astronotika Institut Teknologi Bandung, Bandung

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di