Langsung ke konten utama

Hakteknas dan HUT-RI ke-68: Sebuah Evaluasi Kemajuan Teknologi (Penerbangan dan Keantariksaan) Nasional[1]

Gambar 1. N-250 (kanan) dan CN-235 (kiri)

Bukan kebetulan bahwa Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) dirayakan tepat seminggu sebelum HUT RI. Hakteknas memperingati hari penerbangan perdana pesawat N-250: sebuah kado dari putra-putri negeri ini untuk negerinya yang berulang tahun emas. 10 Agustus 1995, untuk pertama kalinya langit dunia digetarkan sebuah pesawat terbang turboprop yang sudah menggunakan teknologi fly-by-wire[2]. Seperti sebuah paradoks, justru di tempat yang masih diisi oleh tukang becak, gelandangan, dan ditempeli label "negara berkembang", Dunia melihat sebuah lompatan teknologi yang berani.

Delapan belas tahun kemudian, sudah sejauh apa kemajuan teknologi nasional kita?

Namun sebelum kita berbicara tentang sejauh apa kemajuan teknologi nasional, mari kita berbicara dahulu tentang "bagaimana cara mengukurnya?"

Indikator Keberhasilan Perjuangan Teknologi Nasional

Teknologi seyogyanya adalah alat bagi manusia, ilmu yang diterapkan untuk mencapai kepentingan manusia. Oleh karena itu, teknologi tidak boleh lepas dari pemahaman tentang manusia dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Menurut Penulis, tolak ukur keberhasilan teknologi bukanlah kerumitannya, kemasifannya, namun apakah teknologi tersebut mampu memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti memperlakukan manusia sesuai nilai-nilai kemanusiaan.

Apa itu “nilai-nilai kemanusiaan”?

Karena saat ini kita berbicara tentang Hari Kebangkitan Teknologi Nasional sekaligus Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, mari kita menggali makna “nilai-nilai kemanusiaan” dengan sudut pandang Bung “Nasional” yang kita rayakan kebangkitan teknologinya. Sebagai dasar negara, sepertinya cukup sahih apabila kita mengkaitkan pemikiran-pemikiran dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD’45 menjadi apa yang disebut sebagai “pemikiran nasional”. Disini penulis memberanikan diri untuk mencoba menafsirkan apa saja “nilai-nilai kemanusiaan” menjadi cita-cita perjuangan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD’45. Sekali lagi, cita-cita perjuangan nasional, bukan cita-cita perjuangan individu-individu tertentu. Karena ini merupakan tafsir pribadi saja mengenai perjuangan nasional, Penulis pada akhirnya menantang Pembaca seperjuangan sekalian untuk mengkritik, memperbaiki tafsir Penulis apabila dipikir maupun dirasa salah atau hanya kurang tepat.

“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Dari dua alinea awal Pembukaan UUD’45, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan mengenai nilai-nilai kemanusiaan:

1.      “Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa” (alinea 1). Bagian pertama dari alinea pertama Pembukaan UUD’45 ini menyatakan bahwa Kemerdekaan adalah nilai yang universal,nilai kemanusiaan, untuk semua umat manusia, tidak terbatas bangsa tertentu.

2.       “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”Alinea keduaPembukaan UUD’45 menyatakan makna dari pergerakan pra-kemerdekaan politik Indonesia dan proklamasi kemerdekaan Indonesia.Seluruh pergerakan dan perjuangan mencapai satu titik kemerdekaan politik, yaitu pernyataan sikap Indonesia sebagai negara yang merdeka. Namun, perjuangan itu baru sampailah pada sebuah gerbang (bukan kemerdekaan itu sendiri). Kemerdekaan itu sendiri (yang merupakan nilai yang universal, nilai-nilai kemanusiaan) berisi lima nilai pokok: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, makmur.

Kalau dua hal diatas dirangkum, setidak-tidaknya, berbunyi “Kemerdekaan adalah sebuah nilai kemanusiaan yang terus-menerus akan diperjuangkan oleh Indonesia sedari berdirinya. Kemerdekaan yang terus menerus diperjuangkan tadi, berisi lima nilai pokok: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”

Selanjutnya lima nilai pokok Kemerdekaan tadi (baca: nilai-nilai kemanusiaan yang nantinya menjadi tolak ukur keberhasilan penerapan teknologi di Indonesia) dapat ditafsirkan sebagai berikut:

1.       Merdeka: tidak tergantung (sama dengan bahasa inggrisnya: independent. In (merujuk pada “tidak”)-dependent (tergantung). Mandiri, mampu memutuskan dan menentukan nasibnya sendiri dan siap dengan konsekuensi atas pilihannya sendiri. Merdeka atau nilai kemandirian menjadi dasar dalam membangun empat nilai kemanusiaan yang lain (bersatu, berdaulat, adil, makmur). Tanpa kemandirian, empat nilai kemanusiaan yang lain tidak dapat benar-benar dicapai.

2.       Bersatu: bekerja sama untuk mencapai satu tujuan yang sama. Bersatu berarti lebih dari sekedar mengerjakan sesuatu secara bersama-sama, bukan juga sekedar bersama-sama mengerjakan sesuatu. Tanpa persatuan, komponen yang ada dalam negara mungkin tidak akan jalan kemana-mana karena tidak tahu arah bersama (mungkin lebih populer dengan istilah “kumpul kebo”), bahkan mungkin saja saling meniadakan.

3.       Berdaulat: mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan atau daerah (berdasarkan KBBI). Siapa yang berdaulat di Indonesia? Jelas saja rakyatnya.

4.       Adil: berdasarkan KBBI mempunyai beberapa arti 1. Tidak berat sebelah; tidak memihak. 2. Berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran. 3. Sepatutnya;tidak sewenang-wenang

5.       Makmur: berdasarkan KBBI berarti 1. Banyak hasil 2. Banyak penduduk dan sejahtera 3. Serba kecukupan; tidak kekurangan

Setelah lima nilai pokok kemanusiaan di atas ditafsirkan, barulah kita dapat mengevaluasi kemajuan teknologi kita dengan mengajukan pertanyaan:

1.       Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah memiliki nilai kemandirian?
2.       Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah membangun persatuan?
3.       Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah membangun kedaulatan rakyatnya?
4.       Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah menciptakan keadilan?
5.       Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah menciptakan kemakmuran?



Evaluasi Kemajuan Teknologi (Penerbangan dan Keantariksaan) Nasional

Dengan segala keterbatasan dan berbagai pertimbangan, rasanya lebih bijak apabila Penulis mengevaluasi kemajuan teknologi nasional di bidang penerbangan[3]dan keantariksaan[4] saja. Bila Penulis mengevaluasi kemajuan seluruh bidang teknologi rasanya pembahasannya tidak akan cukup mendalam dan akhirnya malah mematikan partisipasi pembaca untuk ikut serta mengevaluasi kemajuan teknologi di bidang-bidang lain.

Teknologi penerbangan dan keantariksaan adalah teknologi yang strategis dan wajib dikuasai oleh Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 13 ribu pulau, wilayah yang memanjang sepanjang Benua Eropa dengan pulau-pulau kecil yang masih terisolir, pulau-pulau besar yang berisi pegunungan dan rawa-rawa, dan terletak di daerah khatulistiwa, Indonesia perlu (bahkan harus) memanfaatkan ruang udara dan antariksanya sebagai solusi konektivitas nasionalnya. Moda transportasi udara dan wahana antariksa juga merupakan gerbang utama dunia internasional. Pesawat terbang menjadi moda utama arus perpindahan warga dunia sedangkan satelit luar angkasa menjadi sarana pembangun jaringan informasi internasional dan pendukung vital berbagai moda transportasi di darat, laut, dan udara. Dari beberapa fakta dan opini yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa meskipun rumit, (seringkali) padat modal, dan beresiko tinggi, penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan bagi Indonesia saat ini bukan lagi hanya sebuah pendongkrak kebanggaan nasional, namun sebuah keharusan.

Sekarang mari kita kaji dan evaluasi kemajuan perjuangan teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional kita dengan lima pertanyaan yang telah kita rumuskan sebelumnya.

1.       Apakah teknologi penerbangan dan keantariksaan yang diterapkan di Indonesia telah memiliki nilai kemandirian?

Pentingnya penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan secara mandiri tampaknya sudah disadari oleh para pendiri negara. Tidak lama setelah proklamasi Indonesia, pemerintah membentuk TNI-AU sebagai lembaga yang bertanggungjawab penuh menjaga kedaulatan Indonesia di wilayah udaranya—bahkan lembaga ini berdiri lebih dahulu dibanding USAF[5]. Era 60-an awal, di ITB dibentuk sub-jurusan teknik penerbangan yang menjadi tonggak sejarah pendidikan teknik penerbangan dan keantariksaan di Indonesia. Di era 60-an itu pula, Pemerintah membentuk LAPAN sebagai pusat penelitian dan pengembangan (litbang) teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional. Di akhir era 70-an, IPTN (yang kini bernama PTDI) dibangun sebagai salah satu batu pijakan terpenting dalam kemajuan industri penerbangan dan keantariksaan nasional. Seolah melengkapi dan ingin mempercepat kemajuan teknologi dirgantara nasional, BPPT dan LIPI juga terlibat aktif dalam litbang penguasaan teknologi strategis ini.

Karena dibentuk oleh negara, usaha penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang telah disebutkan diatas dapat saja diklaim sebagai sebagian usaha penguasaan teknologi nasional. Untuk memudahkan pengukuran tingkat penguasaan teknologi nasional, kita bisa meminjam alat ukur yang juga digunakan oleh lembaga-lembaga litbang di berbagai tempat di dunia. NASA mengklasifikasikan tingkat kesiapan setiap teknologi yang dikembangkannya dalam tingkatan-tingkatan yang disebut Technological Readiness Level (Tingkat Kesiapan Teknologi). Berikut diagram indikator Tingkat Kesiapan Teknologi beserta penjelasan kriteria tiap tingkatnya:
 
 Gambar 2. Diagram Tingkat Kesiapan Teknologi yang dipakai NASA

Berdasarkan alat ukur yang telah digambarkan di atas, tingkat penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional kita dapat dilihat dalam tabel berikut:


Tingkat Kesiapan Teknologi (Technology Readiness Level) nasional pada saat Hakteknaske 18 (2013)^

1
2
3
4
5
6
7
8
9
Penerbangan
N-245(T)
N-270(T)


N-219(T)
KFX/IFX+(K)

N-250(T)
LSA-01+(SU)
INDRA(RD)


NC-212*(T)
CN-235+(T)
NBK117(H)
Nbel412*(H)
NAS330*(H)
Eurocopter332*(H)
ECFermec*(H)
ECFeureuil*(H)
EC725*(H)
LSU-02(TA)
LSU-03(TA)
Keantariksaan



LAPAN-A3(S)
RX-550(R)
RX-100(R)
RX-250(R)
RX-320(R)
RX-420(R)
LAPAN A-2(S)

INASAT-1+(S)
LAPAN A-1(S)
Tabel 1. Tingkat Kesiapan Teknologi nasional pada saat Hakteknas ke 18
Ket:
^Diolah dari berbagai sumber
+produk hasil kerjasama dengan negara lain dalam tahap perancangan sampai produksi (KFX/IFX dengan KAI (Korea Selatan) dan Pemerintah Korea Selatan, LSA-01 dan INASAT dengan TUB (Jerman), CN-235 dengan CASA (Spanyol))
*Produk yanng dibuat berdasarkan lisensi (NC-212 dari CASA; NBK117 dari MBB (Jerman); Nbel412 dari Bell (Amerika Serikat); NAS330 dari Aerospatiale (Perancis); Eurocopter332, ECFermec, ECFeureuil, dan EC725 dari Eurocopter (Konsorsium Eropa))
(T)Pesawat Transportasi
(K)Pesawat Kombatan/Tempur
(SU)Pesawat Survey Udara Berawak
(RD)Radar
(H)Helikopter
(TA)Pesawat Terbang Tanpa Awak
(S)Satelit
(R)Roket/Wahana Peluncur Satelit

Dari tabel tingkat kesiapan teknologi di atasdapat dilihat bahwa meskipun selama ini disokong dana litbang nasional yang relatif sangat minim[6], lembaga-lembaga penerbangan dan keantariksaan nasional mampu menguasai beberapa teknologi di bidang penerbangan dan keantariksaan secara mandiri. Di bidang teknologi penerbangan, mulai dari pesawat terbang berawak, tidak berawak, sampai radar darat sebagian telah dikuasai, sebagian lagi sudah operasional. Satelit dan wahana peluncur muatan ke antariksa adalah teknologi yang saat ini sudah dan masih dikembangkan di bidang teknologi keantariksaan.

2.       Apakah teknologi penerbangan dan keantariksaan yang diterapkan di Indonesia telah membangun persatuan?

Persatuan dan kesatuan nasional akan semakin mungkin terjadi apabila setiap wilayah saling terhubung. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, sampai bulan Juli 2013, Indonesia telah mengoperasikan 179 bandar udara domestik dan 27 bandar udara internasional. CIA bahkan menyebutkan terdapat lebih dari 600 bandara dan lapangan udara di Indonesia[7]—menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah bandara terbanyak kesepuluh di dunia (bahkan lebih banyak dari raksasa Cina). Melalui bandara-bandara itu, penerbangan dalam negeri telah menghubungkan lebih dari 150-an kota yang terletak sepanjang Sabang sampai Merauke.

Ibarat tubuh manusia, apabila bandara-bandara dan rute penerbangan diibaratkan pembuluh darah dan kapiler-kapilernya, pesawat yang dioperasikan oleh maskapai-maskapai penerbangan adalah plasma dan  keping-keping sel darah yang membawa oksigen dan zat gizi. Berawal dari satu-satunya maskapai nasional, Garuda Airways yang melakukan penerbangan perdana pada tanggal 28 Desember 1949, jumlah maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia (baik rute domestik maupun internasional) pada tahun 2013 sudah mencapai 105 perusahaan. Pada tahun 2012, jumlah penumpang penerbangan mencapai 72,2 juta[8] atau hampir 30 persen jumlah penduduk Indonesia tahun 2012. 

Dari segi teknologi keantariksaan, satelit-satelit yang beroperasi di atas wilayah Nusantara membangun persatuan lewat peningkatan akses informasi,  komunikasi, dan kemampuan navigasi. Satelit atas wilayah Indonesia digunakan oleh sedikitnya 55 perusahaan besar dalam negeri yang sebagian besar bergerak di bidang penyiaran dan komunikasi[9]. Di bidang navigasi, satelit semacam Global Positioning Satellite (GPS), Glonass, dan satelit navigasi lain merupakan sarana pendukung yang vital bagi navigasi lebih dari 3.000 penerbangan per hari yang menyatukan wilayah nusantara. 

Meskipun masih diperlukan data persebaran bandara, arus penumpang dan logistik, serta menyadari tingkat kemandirian penguasaan teknologi yang masih sangat minim, dari beberapa data yang telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa teknologi penerbangan dan keantariksaan  telah berperan sangat vital bagi persatuan dan kesatuan Bangsa. Berbagai upaya untuk mendongkrak kemandirian di bidang penerbangan dan keantariksaan perlu segera dilakukan agar sarana vital ini dapat dimanfaatkan secara penuh untuk kepentingan nasional tanpa ketergantungan pada pihak asing.

3.       Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah membangun kedaulatan rakyatnya?

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (UUD’45 pasal 33 ayat 3)

Dari kutipan UUD’45 di atas ada dua hal yang ingin ditekankan tentang kekayaan alam negara: yang pertama adalah bagaimana kekayaan alam dikuasai oleh negara, yang kedua adalah bagaimana kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (ingat, bukan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” yang berarti eksploitasi kekayaan alam sebesar-besarnya). Persoalan kedaulatan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah penekanan yang pertama tentang kekayaan alam negara: apakah kekayaan alam telah dikuasai oleh negara? atau dalam konteks ini, apakah seluruh wilayah udara Indonesia (yang termasuk kekayaan alam negara) telah dikuasai oleh negara? Wilayah udara Indonesia tidak bisa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat apabila negara tidak berdaulat atasnya.

Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan eksklusif. Ketentuan  ini merupakan salah satu tiang pokok Hukum Internasional yang mengatur ruang udara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Chicago Convention 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan tersebut juga dicantumkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menentukan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”. Tetapi sebaliknya (antariksa) merupakan milik bersama umat manusia dan setiap negara dibenarkan memanfaatkan ruang angkasa asalkan sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam Space Treaty 1967.

Sampai saat ini, pengendalian wilayah udara (Flight Information Region, FIR) bagian barat Indonesia masih diatur oleh Singapura. Wilayah udara yang dikendalikan oleh Singapura dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

Gambar 3. Wilayah Udara Indonesia yang masih diatur oleh Singapura
Ket:
Garis merah adalah batas wilayah laut-udara Indonesia. Wilayah udara Indonesia yang termasuk dalam pengaturan Singapura meliputi wilayah dengan cadangan gas bumi terbesar di Asia: Kepulauan Natuna dan Anambas (dalam lingkaran merah). 

Bagaimana Singapura bisa mengatur wilayah udara negara yang luasnya 7000 kali lipat luas wilayahnya? Konvensi Chicago 1944 memang mengatakan bahwa setiap Negara berdaulat penuh dikawasan udaranya secara Komplit dan Eksklusif, namun atas nama keamanan terbang, wewenang dalam mengatur lalulintas udara dapat didelegasikan kepada Negara yang memiliki kemampuan mengelola sesuai standar keamanan terbang Internasional. Saat ini Indonesia masih belum mampu mengelola kemanan penerbangan sesuai dengan standar penerbangan internasional sehingga mendelegasikan pengaturan wilayah udaranya pada Singapura. Penerbangan Indonesia masih termasuk dalam kategori 2 FAA, “Does Not Comply with ICAO Standards: The Federal Aviation Administration assessed this country’s civil aviation authority (CAA) and determined that it does not provide safety oversight of its air carrier operators in accordance with the minimum safety oversight standards established by the International Civil Aviation Organization (ICAO).” Kondisi ini menyiratkan bahwa teknologi penerbangan dan keantariksaan di Indonesia belum mampu membangun kedaulatan negara atas seluruh wilayahnya sendiri.

4.       Apakah teknologi penerbangan dan keantariksaan yang diterapkan di Indonesia telah menciptakan keadilan?

Saat ini sepertinya, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang menjadi sila kelima Pancasila adalah sebuah utopia yang masih diusahakan untuk diwujudkan. Tak perlu banyak data statistik untuk menggambarkan kondisi yang belum adil di Indonesia, murahnya harga BBM bersubsidi ternyata tidak berlaku bagi warga Kabupaten Puncak Jaya Papua. “Di sini (di Jakarta), bensin naik jadi Rp 6.500, orang sudah ribut. Di sana (Puncak Jaya) satu liter Rp 100.000,” ungkap Lukas Enembe, Gubernur Papua, saat menemui Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di gedung parlemen, Jakarta, Senin (6/5/2013). Tambahnya lagi, Masyarakat di Puncak Jaya harus mengeluarkan uang sebesar Rp 2 juta untuk membeli satu zak semen.[9]

Kesenjangan ekonomi yang dialami warga Kabupaten Puncak Jaya Papua diakibatkan oleh sulitnya pasokan logistik mencapai daerah tersebut. Mengutip evaluasi tentang teknologi dan persatuan: teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional memang sudah membangun persatuan nasional, namun belum untuk semua. Teknologi ini juga harus memberikan manfaat dalam bentuk peningkatan koneksi dan komunikasi bagi kemajuan daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T).  Peta Indeks Komposit Utama Daerah Tertinggal yang dikeluarkan oleh Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal di bawah ini mungkin bisa memberikan sedikit gambaran mengenai tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial.

 
 Gambar 4. Peta Indeks Komposit Utama Daerah Tertinggal yang dikeluarkan oleh Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal
Ket:
Daerah-daerah yang berwarna jingga, kuning, dan hijau merupakan daerah yang masih termasuk 3T

Kondisi dan tantangan yangtelah disebutkan di atas menyiratkan bahwa teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional belum mampu mewujudkan keadilan sosial.

5.       Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah menciptakan kemakmuran?

Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penumpang dalam negeri pada tahun 2011 lebih dari delapan kali lipat penumpang dalam negeri pada tahun 1999. IATA (Asosiasi Transportasi Udara Internasional) bahkan menyebutkan bahwa pertumbuhan penumpang pesawat di Indonesia pada tahun 2012-2013 adalah yang terbesar di Dunia. Statistik di atas bisa diintepretasikan menjadi dua hal yang mungkin ambigu: penerbangan nasional mendatangkan kemakmuran atau kemakmuran menjadikan penerbangan nasional lebih hidup

Sebelum jauh-jauh mengkaji interpretasi data statistik di atas, menurut penulis, tidak ada gunanya membahas kemakmuran bila salah satu saja dari empat nilai yang sudah diulas tadi belum tercapai. Persoalan kemakmuran tidak boleh terlepas dari empat nilai yang telah diulas, yaitu kemerdekaan/kemandirian, persatuan, kedaulatan, dan keadilan. Indonesia yang makmur tanpa kemerdekaan dan kedaulatan ibarat bebek pedaging yang gemuk dan sehat namun dikurung dalam kandang dan bergantung pada makanan yang diberikan majikannya (sampai sewaktu-waktu dipotong oleh majikannya). Indonesia yang makmur tanpa persatuan hanya akan bertahan sampai negara ini terpecah-belah dan saling memakan saat termakan provokasi yang entah darimanapun asalnya. Indoneisa yang makmur tanpa keadilan sama saja meniadakan fungsi negara, karena tanpa negarapun korporasi multinasional bisa memperkaya dirinya. Singkat kata, karena teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional belum mampu menciptakan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, maka pada hakikatnya teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional belum mampu menciptakan kemakmuran.


Kesimpulan dan saran

Dalam pembahasan yang telah dilakukan di atas, lima pertanyaan untuk mengukur kemajuan penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional telah dibenturkan pada realita Indonesia hari ini. Untuk mempermudah penyajian dan mempertajam kesimpulan, penilaian kemajuan teknologi penerbangan dan keantariksaan di atas dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini:


IndikatorKemajuanTeknologi
Penerbangan
Keantariksaan
1.
Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah memiliki nilai kemandirian?
ya (namun masih minim)
ya (namun masih minim)
2.
Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah membangun persatuan?
Ya
ya
3.
Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah membangun kedaulatan rakyatnya?
Belum
belum bisa dinilai
4.
Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah menciptakan keadilan?
Belum
belum
5.
Apakah teknologi yang diterapkan di Indonesia telah menciptakan kemakmuran?
Belum
belum
 Tabel 2. Rangkuman Evaluasi Kemajuan Teknologi Penerbangan dan Keantariksaan Nasional

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional telah memenuhi beberapa indikator keberhasilan pencapaian cita-cita kemerdekaan, namun belum mampu mewujudkan seluruh nilai kemerdekaan yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD’45.

Delapan belas tahun setelah penerbangan N-250, teknologi penerbangan dan keantariksaan yang dibangun di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam hal kemandirian dan kapasitas untuk menyatukan Indonesia (melalui transportasi publik). Di sisi lain, kemandirian teknologi yang telah dibangun masih belum mampu mewujudkan kedaulatan wilayah udara Indonesia, belum optimal dalam membangun daerah 3T.

Dari kesimpulan yang didapat dari tulisan ini, berikut ini beberapa saran mengenai hal yang perlu dilakukan selanjutnya:
1.                  Dari hipotesis sementara, Indonesia belum mampu mewujudkan kedaulatan wilayah udaranya diakibatkan karena Indonesia belum mampu menyelenggarakan penerbangan yang sesuai dengan standar keselamatan FAA di seluruh wilayah udaranya. Hal ini memerlukan penelitian selanjutnya mengenai hal-hal pokok apa saja yang masih belum bisa dipenuhi Indonesia, mencari akar persoalan, dan menyusun strategi untuk meningkatkan keselamatan penerbangan nasional.
2.                  Untuk persoalan perwujudan keadilan sosial, perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut mengenai akar persoalan rendahnya aksesibilitas di daerah 3T.
3.                  Peningkatan kemandirian penguasaan teknologi penerbangan juga merupakan hal strategis yang penting untuk segera dipikirkan dan diusahakan segenap bangsa sesuai kapasitas dan porsinya masing-masing.

(

hmm......

Sebenarnya ketika tulisan ini sampai di baris ini, penulis sudah kehabisan kata-kata untuk menutupnya. Kepala ini sedang kosong dari kata-kata menyentuh yang menggerakkan khas para motivator-motivator agar tulisannya terlihat bagus.

Jadi…..

Mari kita sudahi saja usaha memikirkan kata-kata yang indah, puitis, dan menyentuh, dan mulai menggerakkan otak, hati, dan otot kita lalu mulai mencari akar persoalan kemajuan teknologi kita, mencari akar kondisi ketidakmerdekaan kita, dan berbuat sesuatu untuk memperbaikinya sesuai kapasitas kita.

Oia!

"Ini baru soal teknologi penerbangan  dan keantariksaan nasional….. Yang lain?")

Demi Tuhan, untuk bangsa dan kemanusiaan.
 

Bandung, (mulai dipublikasikan) 17 Agustus 2013 - (diselesaikan) 12 September 2013**
Ignatius Yudki Utama[10]
13609067
_______________________________________________________
[1]Disampaikan menjelang Hari Kebangkitan Nasional, kepada seluruh pengurus unit kegiatan mahasiswa maupun himpunan mahasiswa jurusan sebagai pengantar diskusi mahasiswa dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional tahun 2013 dan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-68.
[2]Teknologi fly-by-wire adalah teknologi yang mampu memangkas bobot pesawat terbang secara signifikan. Teknologi ini menggantikan sistem kendali pesawat manual (yang sebelumnya lazim menggunakan sistem mekanik yang berat)  menjadi berbasis “kabel” atau elektrikal sehingga bobot sistem kendali menjadi lebih ringan. Di saat N-250 pertama kali mengudara, satu-satunya pesawat komersial lain yang sudah menggunakan teknologi ini adalah pesawat jet A320. Sedangkan untuk pesawat turboprop, N-250 adalah yang pertama kali menggunakan teknologi ini.
[3]Penerbangan dalam tulisan ini berarti “satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya” (UU No 1 Tahun 2009 tentangPenerbangan)
[4]Antariksa dalam tulisan ini berarti “ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara Bumi yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara Bumi” dan Keantariksaan adalah “segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa” (UU tentangKeantariksaan). Ketinggian 100 kilometer atau 62 mil ditetapkan oleh Federation Aeronautique Internationale merupakan definisi yang paling banyak diterima sebagai batasan antara RuangUdaraBumi dan Antariksa.
[5]United States Air Force (Angkatan Udara Amerika Serikat). Merupakan salah satu angkatan udara adidaya dengan anggaran operasional paling besar di dunia.
[6]Ketua Komite Inovasi Nasional (KIN) Muhammad Zuhal menilai bahwa dana litbang di Indonesia belum mencapai batas minimal yang diamanatkan UNESCO dan PBB, yakni minimal satu persen dari produk domestik bruto (PDB). Dana litbang di Indonesia kira-kira 0,15 persen dari PDB; Jepang 3,5 persen dari PDB; India 1,5 persen dari PDB; Malaysia 0,5 persen dari PDB. (http://us.m.news.viva.co.id/news/read/324446-dana-riset-ri-dibawah-konsensus-pbb)
[7]https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html 
[8] http://www.merdeka.com/uang/sepanjang-2012-jumlah-penumpang-pesawat-capai-722-juta.htm
[9]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/06/17382833/harga.bensin.di.papua.rp.100.000.per.liter.html
[10]Penulis merupakan anggota Keluarga Mahasiswa Teknik Penerbangan ITB, Anggota Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB, Bandung
**ditambahkan lagi pada tanggal 9/12/2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di