Hakteknas dan HUT-RI ke-68: Sebuah Evaluasi Kemajuan Teknologi (Penerbangan dan Keantariksaan) Nasional[1]
Bukan kebetulan bahwa Hari Kebangkitan Teknologi Nasional
(Hakteknas) dirayakan tepat seminggu sebelum HUT
RI. Hakteknas memperingati hari penerbangan perdana pesawat N-250: sebuah kado dari putra-putri negeri ini untuk negerinya yang berulang tahun emas. 10
Agustus 1995, untuk pertama kalinya langit dunia digetarkan sebuah pesawat terbang turboprop yang
sudah menggunakan teknologi fly-by-wire[2]. Seperti sebuah paradoks, justru di tempat yang
masih diisi oleh tukang becak, gelandangan, dan ditempeli label "negara berkembang",
Dunia melihat sebuah lompatan teknologi yang berani.
Delapan
belas tahun kemudian, sudah sejauh apa kemajuan teknologi nasional kita?
Namun sebelum kita berbicara tentang sejauh apa kemajuan teknologi nasional, mari kita berbicara dahulu tentang "bagaimana cara mengukurnya?"
Indikator Keberhasilan
Perjuangan Teknologi Nasional
Teknologi seyogyanya adalah alat bagi manusia,
ilmu yang diterapkan untuk mencapai kepentingan manusia. Oleh karena itu,
teknologi tidak boleh lepas dari pemahaman tentang manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Menurut Penulis,
tolak ukur keberhasilan teknologi bukanlah kerumitannya, kemasifannya, namun apakah teknologi tersebut mampu memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia
berarti memperlakukan manusia sesuai nilai-nilai kemanusiaan.
Apa itu “nilai-nilai kemanusiaan”?
Karena saat ini kita berbicara tentang Hari Kebangkitan
Teknologi Nasional sekaligus Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, mari kita menggali
makna “nilai-nilai kemanusiaan”
dengan sudut pandang Bung “Nasional” yang kita rayakan kebangkitan
teknologinya. Sebagai dasar negara, sepertinya cukup sahih apabila kita
mengkaitkan pemikiran-pemikiran dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD’45 menjadi
apa yang disebut sebagai “pemikiran nasional”. Disini penulis memberanikan diri
untuk mencoba menafsirkan apa saja “nilai-nilai kemanusiaan” menjadi cita-cita perjuangan
nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD’45. Sekali lagi, cita-cita perjuangan nasional, bukan
cita-cita perjuangan individu-individu tertentu. Karena ini merupakan
tafsir pribadi saja mengenai perjuangan nasional, Penulis pada akhirnya menantang
Pembaca seperjuangan sekalian untuk mengkritik, memperbaiki tafsir Penulis
apabila dipikir maupun dirasa salah atau hanya kurang tepat.
“Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.”
Dari dua alinea awal Pembukaan UUD’45, ada
beberapa hal yang bisa disimpulkan mengenai nilai-nilai kemanusiaan:
1. “Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa” (alinea 1). Bagian pertama dari alinea pertama Pembukaan UUD’45 ini menyatakan
bahwa Kemerdekaan adalah nilai yang
universal,nilai kemanusiaan, untuk semua umat manusia, tidak terbatas
bangsa tertentu.
2.
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.”Alinea keduaPembukaan
UUD’45 menyatakan makna dari pergerakan pra-kemerdekaan politik Indonesia dan
proklamasi kemerdekaan Indonesia.Seluruh pergerakan dan perjuangan mencapai
satu titik kemerdekaan politik, yaitu pernyataan sikap Indonesia sebagai negara
yang merdeka. Namun, perjuangan itu baru sampailah pada sebuah gerbang (bukan
kemerdekaan itu sendiri). Kemerdekaan
itu sendiri (yang merupakan nilai yang universal, nilai-nilai kemanusiaan) berisi lima nilai pokok: merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, makmur.
Kalau dua hal diatas dirangkum,
setidak-tidaknya, berbunyi “Kemerdekaan
adalah sebuah nilai kemanusiaan yang terus-menerus akan diperjuangkan oleh
Indonesia sedari berdirinya. Kemerdekaan yang terus menerus diperjuangkan tadi,
berisi lima nilai pokok: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”
Selanjutnya lima nilai pokok Kemerdekaan tadi (baca:
nilai-nilai kemanusiaan yang nantinya
menjadi tolak ukur keberhasilan penerapan teknologi di Indonesia) dapat
ditafsirkan sebagai berikut:
1.
Merdeka: tidak tergantung (sama dengan bahasa
inggrisnya: independent. In (merujuk
pada “tidak”)-dependent (tergantung). Mandiri, mampu memutuskan dan menentukan
nasibnya sendiri dan siap dengan konsekuensi atas pilihannya sendiri. Merdeka
atau nilai kemandirian menjadi dasar dalam membangun empat nilai kemanusiaan
yang lain (bersatu, berdaulat, adil, makmur). Tanpa kemandirian, empat nilai
kemanusiaan yang lain tidak dapat benar-benar dicapai.
2.
Bersatu: bekerja sama untuk mencapai satu
tujuan yang sama. Bersatu berarti lebih dari sekedar mengerjakan sesuatu secara
bersama-sama, bukan juga sekedar bersama-sama mengerjakan sesuatu. Tanpa
persatuan, komponen yang ada dalam negara mungkin tidak akan jalan kemana-mana
karena tidak tahu arah bersama (mungkin lebih populer dengan istilah “kumpul
kebo”), bahkan mungkin saja saling meniadakan.
3.
Berdaulat: mempunyai kekuasaan tertinggi atas
suatu pemerintahan atau daerah (berdasarkan KBBI). Siapa yang berdaulat di
Indonesia? Jelas saja rakyatnya.
4.
Adil: berdasarkan KBBI mempunyai beberapa arti
1. Tidak berat sebelah; tidak memihak. 2. Berpihak kepada yang benar; berpegang
pada kebenaran. 3. Sepatutnya;tidak sewenang-wenang
5.
Makmur: berdasarkan KBBI berarti 1. Banyak
hasil 2. Banyak penduduk dan sejahtera 3. Serba kecukupan; tidak kekurangan
Setelah lima nilai pokok kemanusiaan di atas
ditafsirkan, barulah kita dapat mengevaluasi kemajuan teknologi kita dengan
mengajukan pertanyaan:
1. Apakah teknologi yang
diterapkan di Indonesia telah memiliki nilai kemandirian?
2. Apakah teknologi yang
diterapkan di Indonesia telah membangun persatuan?
3. Apakah teknologi yang
diterapkan di Indonesia telah membangun kedaulatan rakyatnya?
4. Apakah teknologi yang
diterapkan di Indonesia telah menciptakan keadilan?
5. Apakah teknologi yang
diterapkan di Indonesia telah menciptakan kemakmuran?
Evaluasi
Kemajuan Teknologi (Penerbangan dan Keantariksaan) Nasional
Dengan segala keterbatasan dan berbagai
pertimbangan, rasanya lebih bijak apabila Penulis mengevaluasi kemajuan
teknologi nasional di bidang penerbangan[3]dan keantariksaan[4] saja. Bila Penulis mengevaluasi kemajuan seluruh bidang teknologi
rasanya pembahasannya tidak akan cukup mendalam dan akhirnya malah mematikan
partisipasi pembaca untuk ikut serta mengevaluasi kemajuan teknologi di
bidang-bidang lain.
Teknologi penerbangan dan keantariksaan adalah teknologi
yang strategis dan wajib dikuasai oleh Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia dengan lebih dari 13 ribu pulau, wilayah yang
memanjang sepanjang Benua Eropa dengan pulau-pulau kecil yang masih terisolir, pulau-pulau besar
yang berisi pegunungan dan rawa-rawa, dan terletak di daerah khatulistiwa, Indonesia
perlu (bahkan harus)
memanfaatkan ruang udara dan antariksanya sebagai solusi konektivitas nasionalnya.
Moda transportasi udara dan wahana antariksa juga merupakan gerbang utama dunia internasional.
Pesawat terbang menjadi moda utama arus perpindahan warga dunia sedangkan satelit luar angkasa menjadi sarana pembangun jaringan informasi internasional dan
pendukung vital berbagai moda transportasi di darat, laut, dan udara. Dari
beberapa fakta dan opini yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa meskipun rumit,
(seringkali) padat modal, dan beresiko tinggi,
penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan bagi Indonesia
saat ini bukan lagi hanya sebuah pendongkrak kebanggaan nasional, namun sebuah keharusan.
Sekarang mari kita kaji dan
evaluasi kemajuan perjuangan teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional
kita dengan lima pertanyaan yang telah kita rumuskan sebelumnya.
1. Apakah teknologi penerbangan
dan keantariksaan yang diterapkan di Indonesia telah memiliki nilai
kemandirian?
Pentingnya penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan
secara mandiri tampaknya sudah disadari oleh para pendiri negara. Tidak lama
setelah proklamasi Indonesia, pemerintah membentuk TNI-AU sebagai lembaga yang
bertanggungjawab penuh menjaga kedaulatan Indonesia di wilayah udaranya—bahkan lembaga ini berdiri lebih dahulu dibanding USAF[5]. Era
60-an awal, di ITB dibentuk sub-jurusan teknik penerbangan yang menjadi tonggak
sejarah pendidikan teknik penerbangan dan keantariksaan di Indonesia. Di era
60-an itu pula, Pemerintah membentuk LAPAN sebagai pusat penelitian dan pengembangan (litbang) teknologi
penerbangan dan keantariksaan nasional. Di akhir era 70-an, IPTN (yang kini
bernama PTDI) dibangun sebagai salah satu batu pijakan terpenting dalam
kemajuan industri penerbangan dan keantariksaan nasional. Seolah melengkapi dan
ingin mempercepat kemajuan teknologi dirgantara nasional, BPPT dan LIPI juga terlibat
aktif dalam litbang penguasaan teknologi strategis ini.
Karena dibentuk oleh negara, usaha
penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga yang telah disebutkan diatas dapat saja diklaim sebagai sebagian usaha penguasaan teknologi
nasional. Untuk memudahkan pengukuran tingkat penguasaan teknologi nasional, kita
bisa meminjam alat ukur yang juga digunakan oleh lembaga-lembaga litbang di
berbagai tempat di dunia. NASA mengklasifikasikan tingkat kesiapan setiap
teknologi yang dikembangkannya dalam tingkatan-tingkatan yang disebut Technological Readiness Level (Tingkat
Kesiapan Teknologi). Berikut diagram indikator Tingkat Kesiapan Teknologi
beserta penjelasan kriteria tiap tingkatnya:
Gambar 2. Diagram Tingkat Kesiapan Teknologi yang dipakai NASA
Berdasarkan alat ukur yang telah digambarkan
di atas, tingkat penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional
kita dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tingkat
Kesiapan Teknologi (Technology
Readiness Level) nasional pada saat Hakteknaske 18 (2013)^
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
|
Penerbangan
|
N-245(T)
N-270(T)
|
N-219(T)
KFX/IFX+(K)
|
N-250(T)
LSA-01+(SU)
INDRA(RD)
|
NC-212*(T)
CN-235+(T)
NBK117(H)
Nbel412*(H)
NAS330*(H)
Eurocopter332*(H)
ECFermec*(H)
ECFeureuil*(H)
EC725*(H)
LSU-02(TA)
LSU-03(TA)
|
|||||
Keantariksaan
|
LAPAN-A3(S)
|
RX-550(R)
|
RX-100(R)
RX-250(R)
RX-320(R)
RX-420(R)
|
LAPAN
A-2(S)
|
INASAT-1+(S)
LAPAN
A-1(S)
|
Tabel 1. Tingkat Kesiapan Teknologi nasional pada saat Hakteknas ke 18
Ket:
^Diolah dari berbagai sumber
+produk hasil kerjasama dengan negara
lain dalam tahap perancangan sampai produksi (KFX/IFX dengan KAI (Korea
Selatan) dan Pemerintah Korea Selatan, LSA-01 dan INASAT dengan TUB (Jerman), CN-235
dengan CASA (Spanyol))
*Produk yanng dibuat
berdasarkan lisensi (NC-212 dari CASA; NBK117 dari MBB (Jerman); Nbel412 dari
Bell (Amerika Serikat); NAS330 dari Aerospatiale (Perancis); Eurocopter332,
ECFermec, ECFeureuil, dan EC725 dari Eurocopter (Konsorsium Eropa))
(T)Pesawat Transportasi
(K)Pesawat Kombatan/Tempur
(SU)Pesawat Survey Udara Berawak
(RD)Radar
(H)Helikopter
(TA)Pesawat Terbang Tanpa Awak
(S)Satelit
(R)Roket/Wahana Peluncur Satelit
Dari tabel tingkat kesiapan teknologi di atasdapat
dilihat bahwa meskipun selama ini
disokong dana litbang nasional yang relatif sangat minim[6],
lembaga-lembaga penerbangan dan keantariksaan nasional mampu menguasai beberapa
teknologi di bidang penerbangan dan keantariksaan secara mandiri. Di bidang
teknologi penerbangan, mulai dari pesawat terbang berawak, tidak berawak,
sampai radar darat sebagian telah dikuasai, sebagian lagi sudah operasional.
Satelit dan wahana peluncur muatan ke antariksa adalah teknologi yang saat ini
sudah dan masih dikembangkan di bidang teknologi keantariksaan.
2. Apakah teknologi penerbangan
dan keantariksaan yang diterapkan di Indonesia telah membangun persatuan?
Persatuan dan kesatuan
nasional akan semakin mungkin terjadi apabila setiap wilayah saling terhubung. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, sampai
bulan Juli 2013, Indonesia telah
mengoperasikan 179 bandar udara domestik dan 27 bandar
udara internasional. CIA bahkan menyebutkan terdapat lebih dari 600 bandara dan
lapangan udara di Indonesia[7]—menjadikan Indonesia sebagai negara
dengan jumlah bandara terbanyak kesepuluh di dunia (bahkan lebih banyak dari
raksasa Cina). Melalui
bandara-bandara itu, penerbangan dalam negeri telah
menghubungkan lebih dari 150-an kota yang terletak sepanjang Sabang sampai
Merauke.
Ibarat tubuh manusia,
apabila bandara-bandara dan rute penerbangan diibaratkan pembuluh darah dan
kapiler-kapilernya, pesawat yang dioperasikan oleh maskapai-maskapai
penerbangan adalah plasma dan keping-keping
sel darah yang membawa oksigen dan zat gizi. Berawal dari satu-satunya maskapai
nasional, Garuda Airways yang melakukan penerbangan perdana pada tanggal 28
Desember 1949, jumlah maskapai penerbangan yang beroperasi
di Indonesia (baik rute domestik maupun internasional) pada tahun 2013 sudah mencapai 105
perusahaan. Pada tahun 2012, jumlah penumpang penerbangan mencapai 72,2 juta[8]
atau hampir 30 persen jumlah penduduk Indonesia tahun 2012.
Dari segi teknologi
keantariksaan, satelit-satelit yang beroperasi di atas wilayah Nusantara
membangun persatuan lewat peningkatan akses informasi, komunikasi, dan kemampuan navigasi. Satelit
atas wilayah Indonesia digunakan oleh sedikitnya 55 perusahaan besar dalam
negeri yang sebagian besar bergerak di bidang penyiaran dan komunikasi[9]. Di bidang
navigasi, satelit semacam Global
Positioning Satellite (GPS), Glonass, dan satelit navigasi lain merupakan
sarana pendukung yang vital bagi navigasi lebih dari 3.000 penerbangan per hari
yang menyatukan wilayah nusantara.
Meskipun masih diperlukan data persebaran bandara, arus penumpang
dan logistik, serta menyadari
tingkat kemandirian penguasaan teknologi yang masih sangat minim, dari beberapa data yang telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa teknologi penerbangan dan keantariksaan telah berperan sangat vital bagi persatuan dan
kesatuan Bangsa. Berbagai upaya untuk mendongkrak kemandirian di bidang penerbangan dan
keantariksaan perlu segera dilakukan agar sarana vital ini dapat dimanfaatkan
secara penuh untuk kepentingan nasional tanpa ketergantungan pada pihak asing.
3. Apakah teknologi yang
diterapkan di Indonesia telah membangun kedaulatan rakyatnya?
“Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” (UUD’45 pasal 33 ayat 3)
Dari kutipan UUD’45 di atas
ada dua hal yang ingin ditekankan tentang kekayaan alam negara: yang pertama
adalah bagaimana kekayaan alam dikuasai oleh negara, yang kedua adalah
bagaimana kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(ingat, bukan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” yang
berarti eksploitasi kekayaan alam sebesar-besarnya). Persoalan kedaulatan yang
akan diangkat dalam tulisan ini adalah penekanan yang pertama tentang kekayaan
alam negara: apakah kekayaan alam telah dikuasai oleh negara? atau dalam
konteks ini, apakah seluruh wilayah
udara Indonesia (yang termasuk kekayaan alam negara) telah dikuasai oleh
negara? Wilayah udara Indonesia tidak
bisa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat apabila negara tidak
berdaulat atasnya.
Kedaulatan suatu negara di
ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan eksklusif.
Ketentuan ini merupakan salah satu tiang
pokok Hukum Internasional yang mengatur ruang udara sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 Chicago Convention 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.
Ketentuan tersebut juga dicantumkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan, yang menentukan bahwa ”Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.
Tetapi sebaliknya (antariksa) merupakan milik bersama umat manusia dan setiap
negara dibenarkan memanfaatkan ruang angkasa asalkan sesuai dengan
syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam Space Treaty 1967.
Sampai saat ini, pengendalian wilayah udara (Flight
Information Region, FIR) bagian barat
Indonesia masih diatur oleh Singapura. Wilayah udara yang dikendalikan oleh Singapura
dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar 3. Wilayah Udara Indonesia yang masih diatur oleh Singapura
Ket:
Garis merah adalah batas wilayah laut-udara Indonesia. Wilayah udara
Indonesia yang termasuk dalam pengaturan Singapura meliputi wilayah dengan
cadangan gas bumi terbesar di Asia: Kepulauan Natuna dan Anambas (dalam
lingkaran merah).
Bagaimana Singapura
bisa mengatur wilayah udara negara yang luasnya 7000 kali lipat luas wilayahnya? Konvensi Chicago 1944 memang mengatakan bahwa setiap Negara berdaulat
penuh dikawasan udaranya secara Komplit dan Eksklusif, namun atas nama keamanan
terbang, wewenang dalam mengatur lalulintas udara dapat didelegasikan kepada
Negara yang memiliki kemampuan mengelola sesuai standar keamanan terbang
Internasional. Saat ini Indonesia
masih belum mampu mengelola kemanan penerbangan sesuai dengan standar
penerbangan internasional sehingga mendelegasikan pengaturan wilayah udaranya
pada Singapura. Penerbangan Indonesia masih termasuk dalam kategori 2 FAA,
“Does Not Comply with ICAO Standards: The Federal Aviation Administration
assessed this country’s civil aviation authority (CAA) and determined that it
does not provide safety oversight of its air carrier operators in accordance
with the minimum safety oversight standards established by the International
Civil Aviation Organization (ICAO).” Kondisi ini menyiratkan bahwa teknologi penerbangan dan
keantariksaan di Indonesia belum mampu membangun kedaulatan negara atas seluruh
wilayahnya sendiri.
4. Apakah teknologi penerbangan
dan keantariksaan yang diterapkan di Indonesia telah
menciptakan keadilan?
Saat ini sepertinya, “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” yang menjadi sila kelima Pancasila adalah sebuah
utopia yang masih diusahakan untuk diwujudkan. Tak perlu banyak data statistik untuk menggambarkan kondisi yang belum
adil di Indonesia, murahnya harga BBM bersubsidi ternyata
tidak berlaku bagi warga Kabupaten Puncak Jaya Papua. “Di sini (di Jakarta),
bensin naik jadi Rp 6.500, orang sudah ribut. Di sana (Puncak Jaya) satu liter
Rp 100.000,” ungkap Lukas Enembe, Gubernur Papua, saat menemui Wakil Ketua DPR
Priyo Budi Santoso di gedung parlemen, Jakarta, Senin (6/5/2013). Tambahnya
lagi, Masyarakat di Puncak Jaya harus mengeluarkan uang sebesar Rp 2 juta untuk
membeli satu zak semen.[9]
Kesenjangan ekonomi
yang dialami warga Kabupaten Puncak Jaya Papua diakibatkan oleh sulitnya
pasokan logistik mencapai daerah tersebut. Mengutip evaluasi tentang teknologi
dan persatuan: teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional memang sudah
membangun persatuan nasional, namun belum untuk semua. Teknologi ini juga harus
memberikan manfaat dalam bentuk peningkatan koneksi dan komunikasi bagi
kemajuan daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T). Peta Indeks Komposit Utama Daerah Tertinggal
yang dikeluarkan oleh Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal di bawah ini
mungkin bisa memberikan sedikit gambaran mengenai tantangan yang dihadapi
Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial.
Gambar 4. Peta Indeks Komposit Utama Daerah Tertinggal yang dikeluarkan oleh Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal
Ket:
Daerah-daerah yang berwarna jingga, kuning, dan hijau merupakan daerah
yang masih termasuk 3T
Kondisi dan tantangan
yangtelah disebutkan di atas menyiratkan bahwa teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional belum mampu mewujudkan
keadilan sosial.
5. Apakah teknologi yang
diterapkan di Indonesia telah menciptakan kemakmuran?
Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan
Pusat Statistik, jumlah penumpang dalam negeri pada tahun 2011 lebih dari delapan kali lipat penumpang
dalam negeri pada tahun 1999. IATA (Asosiasi Transportasi Udara Internasional)
bahkan menyebutkan bahwa pertumbuhan penumpang pesawat di Indonesia pada tahun 2012-2013 adalah yang
terbesar di Dunia. Statistik di atas bisa diintepretasikan menjadi dua hal yang
mungkin ambigu: penerbangan nasional
mendatangkan kemakmuran atau kemakmuran
menjadikan penerbangan nasional lebih hidup?
Sebelum jauh-jauh
mengkaji interpretasi data statistik di atas, menurut penulis, tidak ada
gunanya membahas kemakmuran bila salah satu saja dari empat nilai yang sudah
diulas tadi belum tercapai. Persoalan kemakmuran tidak boleh terlepas dari
empat nilai yang telah diulas, yaitu kemerdekaan/kemandirian, persatuan,
kedaulatan, dan keadilan. Indonesia yang
makmur tanpa kemerdekaan dan kedaulatan ibarat bebek pedaging yang gemuk
dan sehat namun dikurung dalam kandang dan bergantung pada makanan yang
diberikan majikannya (sampai sewaktu-waktu dipotong oleh majikannya). Indonesia
yang makmur tanpa persatuan hanya
akan bertahan sampai negara ini terpecah-belah dan saling memakan saat termakan
provokasi yang entah darimanapun asalnya. Indoneisa yang makmur tanpa keadilan sama saja meniadakan fungsi negara, karena
tanpa negarapun korporasi multinasional bisa memperkaya dirinya. Singkat kata,
karena teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional belum mampu menciptakan
kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, maka pada hakikatnya teknologi penerbangan dan keantariksaan
nasional belum mampu menciptakan kemakmuran.
Kesimpulan dan saran
Dalam pembahasan yang telah dilakukan di atas, lima pertanyaan
untuk mengukur kemajuan penguasaan teknologi penerbangan dan keantariksaan
nasional telah dibenturkan pada realita Indonesia hari ini. Untuk mempermudah
penyajian dan mempertajam kesimpulan, penilaian kemajuan teknologi penerbangan
dan keantariksaan di atas dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini:
IndikatorKemajuanTeknologi
|
Penerbangan
|
Keantariksaan
|
|
1.
|
Apakah teknologi yang diterapkan
di Indonesia telah memiliki nilai kemandirian?
|
ya (namun masih minim)
|
ya (namun masih minim)
|
2.
|
Apakah teknologi yang diterapkan
di Indonesia telah membangun persatuan?
|
Ya
|
ya
|
3.
|
Apakah teknologi yang diterapkan
di Indonesia telah membangun kedaulatan rakyatnya?
|
Belum
|
belum bisa dinilai
|
4.
|
Apakah teknologi yang diterapkan
di Indonesia telah menciptakan keadilan?
|
Belum
|
belum
|
5.
|
Apakah teknologi yang diterapkan
di Indonesia telah menciptakan kemakmuran?
|
Belum
|
belum
|
Tabel 2. Rangkuman Evaluasi Kemajuan Teknologi Penerbangan
dan Keantariksaan Nasional
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa teknologi
penerbangan dan keantariksaan nasional
telah memenuhi beberapa indikator keberhasilan pencapaian cita-cita kemerdekaan,
namun belum mampu mewujudkan seluruh
nilai kemerdekaan yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD’45.
Delapan belas tahun setelah penerbangan N-250, teknologi
penerbangan dan keantariksaan yang dibangun di Indonesia menunjukkan
peningkatan dalam hal kemandirian dan kapasitas untuk menyatukan Indonesia
(melalui transportasi publik). Di sisi lain, kemandirian teknologi yang telah
dibangun masih belum mampu mewujudkan kedaulatan wilayah udara Indonesia, belum
optimal dalam membangun daerah 3T.
Dari kesimpulan yang didapat dari tulisan ini, berikut ini
beberapa saran mengenai hal yang perlu dilakukan selanjutnya:
1.
Dari hipotesis sementara, Indonesia
belum mampu mewujudkan kedaulatan wilayah udaranya diakibatkan karena Indonesia
belum mampu menyelenggarakan penerbangan yang sesuai dengan standar keselamatan
FAA di seluruh wilayah udaranya. Hal ini memerlukan penelitian selanjutnya
mengenai hal-hal pokok apa saja yang masih belum bisa dipenuhi Indonesia,
mencari akar persoalan, dan menyusun strategi untuk meningkatkan keselamatan
penerbangan nasional.
2.
Untuk persoalan perwujudan keadilan
sosial, perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut mengenai akar persoalan rendahnya
aksesibilitas di daerah 3T.
3.
Peningkatan kemandirian penguasaan
teknologi penerbangan juga merupakan hal strategis yang penting untuk segera dipikirkan
dan diusahakan segenap bangsa sesuai kapasitas dan porsinya masing-masing.
(
hmm......
Sebenarnya ketika tulisan ini sampai di baris ini, penulis sudah kehabisan kata-kata untuk menutupnya. Kepala ini sedang kosong dari kata-kata menyentuh yang menggerakkan khas para motivator-motivator agar tulisannya terlihat bagus.
Jadi…..
Mari kita sudahi saja usaha
memikirkan kata-kata yang indah, puitis, dan menyentuh, dan mulai menggerakkan
otak, hati, dan otot kita lalu mulai mencari akar persoalan kemajuan teknologi kita,
mencari akar kondisi ketidakmerdekaan kita, dan berbuat sesuatu untuk memperbaikinya sesuai kapasitas kita.
Oia!
"Ini baru soal teknologi penerbangan dan keantariksaan nasional….. Yang lain?")
Demi Tuhan, untuk bangsa dan kemanusiaan.
Bandung, (mulai dipublikasikan) 17 Agustus 2013 - (diselesaikan) 12 September 2013**
Ignatius Yudki Utama[10]
13609067
_______________________________________________________
[1]Disampaikan menjelang Hari Kebangkitan Nasional, kepada seluruh pengurus unit kegiatan mahasiswa maupun himpunan mahasiswa jurusan sebagai pengantar diskusi mahasiswa dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional tahun 2013 dan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-68.
[2]Teknologi fly-by-wire adalah
teknologi yang mampu memangkas bobot pesawat terbang secara signifikan.
Teknologi ini menggantikan sistem kendali pesawat manual (yang sebelumnya lazim
menggunakan sistem mekanik yang berat)
menjadi berbasis “kabel” atau elektrikal sehingga bobot sistem kendali
menjadi lebih ringan. Di saat N-250 pertama kali mengudara, satu-satunya
pesawat komersial lain yang sudah menggunakan teknologi ini adalah pesawat jet
A320. Sedangkan untuk pesawat turboprop, N-250 adalah yang pertama kali
menggunakan teknologi ini.
[3]Penerbangan dalam tulisan ini berarti “satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya” (UU No 1 Tahun 2009 tentangPenerbangan)
[4]Antariksa dalam tulisan ini berarti “ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara Bumi yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara Bumi” dan Keantariksaan adalah “segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa” (UU tentangKeantariksaan). Ketinggian 100 kilometer atau 62 mil ditetapkan oleh Federation Aeronautique Internationale merupakan definisi yang paling banyak diterima sebagai batasan antara RuangUdaraBumi dan Antariksa.
[5]United States Air Force (Angkatan Udara Amerika Serikat). Merupakan salah satu angkatan udara adidaya dengan anggaran operasional paling besar di dunia.
[6]Ketua Komite Inovasi Nasional (KIN) Muhammad Zuhal menilai bahwa dana litbang di Indonesia belum mencapai batas minimal yang diamanatkan UNESCO dan PBB, yakni minimal satu persen dari produk domestik bruto (PDB). Dana litbang di Indonesia kira-kira 0,15 persen dari PDB; Jepang 3,5 persen dari PDB; India 1,5 persen dari PDB; Malaysia 0,5 persen dari PDB. (http://us.m.news.viva.co.id/news/read/324446-dana-riset-ri-dibawah-konsensus-pbb)
[7]https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
[8] http://www.merdeka.com/uang/sepanjang-2012-jumlah-penumpang-pesawat-capai-722-juta.html
[9]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/06/17382833/harga.bensin.di.papua.rp.100.000.per.liter.html
[10]Penulis merupakan anggota Keluarga Mahasiswa Teknik Penerbangan ITB, Anggota Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB, Bandung
**ditambahkan lagi pada tanggal 9/12/2013
[3]Penerbangan dalam tulisan ini berarti “satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya” (UU No 1 Tahun 2009 tentangPenerbangan)
[4]Antariksa dalam tulisan ini berarti “ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara Bumi yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara Bumi” dan Keantariksaan adalah “segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa” (UU tentangKeantariksaan). Ketinggian 100 kilometer atau 62 mil ditetapkan oleh Federation Aeronautique Internationale merupakan definisi yang paling banyak diterima sebagai batasan antara RuangUdaraBumi dan Antariksa.
[5]United States Air Force (Angkatan Udara Amerika Serikat). Merupakan salah satu angkatan udara adidaya dengan anggaran operasional paling besar di dunia.
[6]Ketua Komite Inovasi Nasional (KIN) Muhammad Zuhal menilai bahwa dana litbang di Indonesia belum mencapai batas minimal yang diamanatkan UNESCO dan PBB, yakni minimal satu persen dari produk domestik bruto (PDB). Dana litbang di Indonesia kira-kira 0,15 persen dari PDB; Jepang 3,5 persen dari PDB; India 1,5 persen dari PDB; Malaysia 0,5 persen dari PDB. (http://us.m.news.viva.co.id/news/read/324446-dana-riset-ri-dibawah-konsensus-pbb)
[7]https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
[8] http://www.merdeka.com/uang/sepanjang-2012-jumlah-penumpang-pesawat-capai-722-juta.html
[9]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/06/17382833/harga.bensin.di.papua.rp.100.000.per.liter.html
[10]Penulis merupakan anggota Keluarga Mahasiswa Teknik Penerbangan ITB, Anggota Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB, Bandung
**ditambahkan lagi pada tanggal 9/12/2013
Komentar
Posting Komentar