Langsung ke konten utama

Kegagalan


“Belajar dari yang peringkat satu dan dari peringkat terakhir”
-Gumilar Rahmat Hidayat, dalam sebuah pertemuan saat saya masih seorang mahasiswa tingkat satu.

Saya kurang suka menyebut kegagalan adalah suatu keberhasilan yang tertunda. Bagi saya, "keberhasilan" semata bukanlah sesuatu yang harus dicapai semua orang. Cerita mengenai kegagalan seringkali adalah cerita yang lebih menarik daripada cerita keberhasilan. Menarik ketika cerita itu adalah soal perjalanan hidup seseorang yang ingin melakukan sesuatu dengan cara yang tidak seperti orang kebanyakan.

Mungkin karena memang tidak suka ikut-ikutan, bagi saya, jalan untuk menjadi "sukses" bukanlah hanya apa yang diceritakan oleh "orang-orang sukses". 

Pergulatan pribadi akhir-akhir ini dengan persoalan optimasi mengajarkan saya bahwa dalam kehidupan ini ada kemungkinan lebih dari satu titik optimum. Titik yang paling optimum di antara titik -titik optimum tadi biasa disebut titik optimum global. Meskipun disebut titik optimum global, titik itu tidak benar-benar "global". Titik optimum global merupakan titik yang paling optimum dari ruang yang terbatas pada himpunan asal tertentu--yang batasannya seringkali bersifat artifisial. 

Kembali pada kehidupan, "kesuksesan" bagi saya dapat digambarkan sebagai sebuah titik optimum. Titik yang diidamkan. Namun kembali pada persoalan optimasi tadi, mengikuti langkah-langkah yang dilakukan "orang-orang sukses" berarti membatasi diri ini "hanya" pada titik optimum yang dicapai oleh orang tersebut. Membatasi diri untuk hidup sesuai perjalanan kesuksesan "orang sukses" berarti juga membatasi ruang pencarian kehidupan secara artifisial, yang berarti membatasi kemungkinan adanya titik-titik "kesuksesan" yang baru, membatasi kemungkinan cara-cara hidup yang lebih baik.

Dalam perjalanan menemukan titik optimum yang baru, seringkali diperlukan sampel-sampel himpunan asal yang keluar dari sebuah lingkungan yang "itu-itu" saja. Sampel-sampel ini adalah orang-orang yang berusaha untuk menjalani kehidupan tidak seperti orang-orang lainnya. Orang-orang ini bermutasi. Orang-orang ini adalah keanehan bagi kawanan.  Namun, orang-orang ini juga memperluas wawasan, perjalanan, dan apapun yang memperluas "ruang hidup" umat manusia, memperluas kemungkinan bagi generasi selanjutnya untuk menemukan titik-titik optimum yang baru dengan menempatkan dirinya pada resiko "kegagalan" yang tinggi.

Saya tidak berpikiran bahwa semua "kegagalan" harus dirayakan (seperti para motivator bisnis)--karena kegagalan berulang kali yang berasal dari kemalasan untuk belajar dari pengalaman adalah kesia-siaan. Namun tidak semua kegagalan pun harus dicemooh. Ia seringkali hanya perlu sedikit lebih dihormati, didengarkan, diperhatikan, dikontemplasikan.

Berceritalah malam. Saya mendengar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di