Duduk di salah satu sudut kasurku dan mengetik di atas meja lipat.
Beberapa menit yang lalu, setelah mengikuti misa jarak jauh yang dipersembahkan Bapa Uskup Bandung, aku keluar dari kamar kosku untuk mencari sarapan. Setelah berjalan kaki di sekeliling kost, tidak kutemui makanan tersedia di tempat biasanya aku makan disana. Kembali ke kost, kurapikan dan kupacu sepeda motor menuju “warung tenda biru”.
Sejujurnya aku tidak pernah tahu apakah warung ini namanya memang benar “tenda biru”, seniorku yang memperkenalkanku pada tempat ini yang menyebutnya begitu. Dahulu seusai latihan rutin mingguan, seniorku sering mampir makan di tempat ini. Alasannya? Porsinya banyak. Akhir-akhir ini aku biasanya meminta nasi setengah porsi karena merasa tidak mempu menghabiskan satu porsi.
Warung ini seperti bedeng proyek darurat. Dindingnya tripleks dan salah satu sisinya berdinding beton pilar penyangga Jembatan Pasupati. Selain tripleks dan beton, bagian depan warung ini ditutup dengan terpal yang bertumpuk, salah satunya berwarna biru, sama dengan “atap” warung ini. Aku duduk di sebuah kursi panjang, membelakangi “pintu depan”. Kursi panjang itu muat diduduki tiga orang dewasa. Selain kursi panjang itu terdapat kursi panjang lain yang hanya muat untuk dua orang dewasa. Dua kursi ini membentuk huruf L, mengitari sebuah meja persegi panjang yang di atasnya terdapat berbagai gorengan, sayur, dan sambal. Di sisi meja persegi panjang yang berseberangan dari arahku duduk terdapat area memasak dan mempersiapkan makanan. Luasnya hanya dua kali meja persegi itu. Di area memasak itu terdapat dua kompor untuk menggoreng, satu tempat pengulekan sambal, tempat menanak nasi dan kompornya. Semua kompor dan tempat pengulekan ditaruh di atas tanah. Sebuah meja persegi panjang lain yang lebih kecil ukurannya dari meja hidangan, menempel di meja hidangan dan membentuk huruf L meja itu juga menempel pada tembok beton pilar jembatan. Di atas meja persegi panjang itu, terdapat tempat air panas dengan gayung mandi yang diikat pada sebuah batang. Gayung itu digunakan untuk mengambil air panas dan menaruhnya pada gelas untuk dihidangkan kepada pelanggan yang makan di tempat atau plastik untuk pelanggan yang tidak makan di tempat. Gayung itu berwarna jingga dengan bercak-bercak hitam. Setelah digunakan untuk menuangkan air, biasanya gayung itu ditaruh di atas tempat air panas atau disenderkan pada tembok beton pilar.
Warung tenda biru ini bagiku seperti sebuah jendela melihat dunia. Dunia yang jujur, tanpa riasan untuk menarik konsumen, pun tidak dicompang-campingkan untuk membangun rasa iba yang bagiku murahan. Aku suka mengamati siapa saja pelanggan yang masuk warung ini dan sesekali mencoba menerka darimana mereka datang. Pagi ini beberapa orang mengunjungi warung ini sepanjang santapan nasi-telur-tahuku. Yang kuingat ada tiga orang bapak lanjut usia, salah satunya datang bersama seorang ibu paruh baya. Bapak yang pertama datang dengan kemeja batik, mengaduk-aduk gorengan ayam dan tahu, lalu mengambilnya, makan di tempat. Bapak yang lain datang bersama seorang ibu paruh baya. Tangannya sepertinya tak bisa diam melipat dan memanjangkan tiga lembaran uang lima ribu rupiah yang dikeluarkan dari balik jaketnya. Jaketnya lusuh, rambutnya panjang keputihan, dan ia sepertinya terus bergumam kecil, entah memang bergumam atau gemetaran. Ibu paruh baya yang menemani bapak itu juga berpakaian lusuh, rambutnya diikat, dan memanggul sebuah karung goni putih yang sepertinya berisi botol-botol plastik bekas minuman. Sang ibu tertawa-tawa kecil saat bercanda dengan dua anak kecil yang kemungkinan anak dari keluarga penjual di warung ini. Bapak dan Ibu itu pergi setelah membawa dua porsi nasi dengan ayam dan gorengan lain serta air teh panas, air teh yang bening. Tak lama sebelum kuselesaikan sarapanku, seorang bapak lain datang. Bapak ini berambut putih dan dipotong pendek. Setelah mengambil sarapannya, bapak ini keluar tenda dan makan di kursi yang terletak tidak jauh dari warung itu.
Tidak ada dialog yang kulakukan selama aku sarapan tadi selain meminta nasi setengah porsi, meminta kopi, dan menanyakan harga yang yang harus kubayar saat beranjak pergi.
“sebelas ribu, Den”
Kukeluarkan selembar sepuluh ribu rupiah dan sekeping uang logam seribu rupiah dan kuberikan pada ibu penjual di warung itu.
“makasih , Den”
Ibu itu kemudian melanjutkan hal-hal yang perlu ia lakukan untuk warung itu. Seingatku, waktu pertama kali aku makan di warung itu, suami ibu ini masih bekerja di warung. Sang bapak biasanya menumbuk cabe dan bumbu lainnya untuk membuat sambal. Sepengetahuanku, sang bapak meninggal sekitar setahun atau dua tahun sejak pertama kali aku makan di tempat itu. Sebagai gantinya, anak dan menantu ibu ini yang mengurusi membuat sambal dan memasak gorengan.
Keluar dari warung, dua cucu ibu warung tenda biru itu sedang mengulum plastik berisi cairan berwarna coklat. Mereka berdiang di dekat penjual jamu keliling yang sedang meramu jamunya. Sekitar sepuluh meter dari warung tenda biru, deretan penjual sayuran, pakaian, dan jajanan pasar tampak menjajakan barang dagangan di tepi jalan.
Sepanjang perjalanan kembali ke kost dari keluyuran pagi ini, sempat tergoda untuk menganalisis kehidupan sosial-politik-ekonomi dari orang-orang yang kutemui tadi, tapi ah… aku hanya ingin menikmati hari ini. Aku ingin merasakan, bukan menganalisa. Ingin mencium, mendengar, melihat, bukan berfantasi apalagi mengkritisi. Ada waktunya untuk berpikir, ada waktunya untuk merasa.
Diam dan lebih merasa, lebih mengamati, aku membuka mata dan telingaku yang seakan buta dan tuli karena asik sendiri dengan ambisi-ambisi yang tak kusadari, dengan kecurigaan-kecurigaan yang tampaknya alami. Aku menikmati dedaunan hijau yang disinari matahari pagi, semut-semut yang berjalan di atasnya. Mereka yang sedang bekerja itu lebih menghiburku daripada guyonan-guyonan penuh sindiran khas percakapan media sosial. Menghirup hari ini, sebuah pelarian kecil yang menyenangkan dari kepenatan pikiran dan kekhawatiran tentang hari esok.
Doaku untuk langkah yang ringan bagi semua yang saat ini berbeban berat.
--Catatan harian, Hari Raya Tritunggal Mahakudus tahun 2020.
Komentar
Posting Komentar