Langsung ke konten utama

Laki-laki yang Mulai Merasa Pantas Dipanggil "Om"

Seorang pria beranjak bangun dari kasurnya. Punggungnya tak mau lama-lama lekat dengan tempatnya bermimpi atau hanya terlelap. Selangkah kemudian, dilihatnya seseorang laki-laki. Janggutnya agak semarak, matanya masih kecil terpejam dan mengerjap, berkeriapan di antara bulu mata hitamnya. Bibirnya yang tebal dan kering mulai diusili rambut-rambut hitam di bawah hidungnya, kumisnya sudah lama tidak bersua dengan pisau cukur. Di atas kumisnya yang tipis tapi mulai mengusili bibirnya itu, dua lubang hidungnya yang tampak penuh juga dengan rambut-rambut hidung. Beberapa di antara rambut itu menjuntai, perak keputihan, tak diurusnya. Pipinya tidak tirus, tapi juga tidak mengembung. 

 

Tiga dekade sudah, dan kau masih bernafas. Apa saja yang sudah kau lakukan? Untuk siapa?”

 

Pertanyaan terakhir dulu diteriakinya. Sekarang jarang digubrisnya. Sudah lewat masanya, katanya.

Ajal dulu dinantikannya, mau jadi legenda pikirnya. Sekarang ia sudah jadi insan yang meminta ditunda. 

 

Takut.

Ia sekarang kenal takut. Pikirnya mau berkata-kata bijak tentang ketakutannya, tapi ia merasa sudah cukup dewasa untuk merasa dan tak merasa perlu menantang bahaya untuk terlihat jawara.

Kadangkala ia iri dengan kanak-kanak. Mereka terlihat sederhana, tak berputar-putar, berbicara karena mengindera dan apa adanya. Masih jenaka, kerikil pun bisa buat mereka tertawa. Tak perlu banyak kriteria, mereka hanya menerima...atau menolak. Mereka bertindak.



Tapi itu “kadangkala” saja.

Ia merasa cukup ajeg dengan dirinya, tapi ia sadar hidupnya sudah bukan miliknya seorang. Pandangannya masih melihat yang tak dilihat matanya tapi tangan dan kakinya tak dibiarkannya tak menyentuh yang harus disentuhnya. 

 

Ia bekerja. 

 

Melalui pekerjaannya, ia sadar martabatnya. Ia bukan lagi binatang rumahan yang menunggu majikannya memberinya makan. Ia bekerja untuk hidup dan hidupnya untuk menghidupi tempatnya berikrar janji. Ia tak selalu berhasil dalam apa yang direncanakannya, tapi sampai saat itu, ia terus bangun dan berusaha. Gagal, jatuh, bangun. Ia insaf, perjuangannya hari ini benar-benar nyata dan terasa--bukan lagi remaja yang mencoba berontak dan berbeda untuk buat orang terkesima--ada mitokondria-mitokondria yang butuh glukosa untuk dioksidasi menjadi energi dan digunakan sel-sel lain dalam tubuhnya dan orang-orang terdekatnya. Lebih dari soal berpangan, bersandang, dan berpapan; semua itu perjuangan untuk hidup yang menghidupi cita-citanya bersama, yang bukan lagi untuk dirinya sendiri.

Kancing paling bawah kemejanya dikatupkan Sebuah kotak biru dibukanya, sejurus kemudian sebuah lingkaran keemasan menggenggam jari manis tangan kanannya. Arlojinya memeluk pergelangan tangan kirinya. Telapak kakinya sudah bersembunyi di balik sepatu coklatnya. 

 

Ia berangkat, menjemput martabatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di...

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa...

Kompleksitas Ikhtisar Rasa di Akhir Dekade

Minggu kedua bulan dua belas saat udara beku jadi selimut. Pancar surya menerobos bilik rehat menjamah benak yang mulai membeku menghangatkan karsa menata kata. Di tengah hari tak banyak kebisingan, ketika berhenti merekam dan mengolah berkas-berkas rasa datang dan pergi, tujuh purnama terbit di atas punggung seekor harimau Asia Seperti bermimpi saat membuka mata ini drama dan realita apa yang di hadapanku layaknya merengkuh kabut ada, terasa dekat, terlihat, namun tak tergenggam atau sebuah kerlip kota dari kejauhan terlihat indah tapi tidak jelas dan justru itu maka terlihat indah. Seperti mengumpulkan serpihan es yang menyelimuti dedaunan kering musim gugur setelah hujan pada musim dingin: menarik, rumit, dan dingin. Akankah komunitas imajiner ini hanya jadi imajinasi dengan banyak sensasi dan publikasi tanpa esensi? lain di mulut, lain di aksi? Akankah anak rahim Ibu Pertiwi selamanya mau mendekadensi diri? Lemah hati, lemah akal, lemah teknologi....