Langsung ke konten utama

Hadiah untuk yang hari ini merasa (meng)ulang—hari ini satu—tahun—yang lalu


Saya tidak tahu kenapa, pokoknya saya hanya ingin menulis.
Korupsi waktu sejenak di tengah permainan tugas-tugasan.
Dini hari ini, di Pengadilan Tenggelam, satu tahun sudah berlalu. 365 hari.

(eh, salah. 366 hari.)

1 tahun lalu, duduk sendiri di teras itu, menulis sebuah surat dan melakukan hal-hal yang tak terbayang untuk melakukannya.
Hari ini coba kembali untuk merenung. Menilik kembali yang silam.
Semua jelas berubah.
Tidak ada yang berubah adalah hal yang mustahil.
Lalu kenapa kita masih berjargon “ciptakanlah perubahan!” kalau tanpa diciptakan pun, perubahan terus ada?

?

Apa saja yang mata ini lihat hari ini setahun yang lalu?

Apa saja yang telinga ini dengar hari ini setahun yang lalu?

Apa saja yang hidung ini cium hari ini setahun yang lalu?

Apa saja yang lidah ini kecap hari ini setahun yang lalu?

Apa saja yang pikiran ini pikirkan hari ini setahun yang lalu?

Apa saja yang tangan ini tulis hari ini setahun yang lalu?
 
Apa saja yang bibir ini ucap hari ini setahun yang lalu?

Apa saja yang hati ini rasa hari ini setahun yang lalu?


Apa mata itu melihat?
Apa telinga itu mendengar?
Apa hidung itu mencium?
Apa lidah itu mengecap?
Apa pikiran itu memikirkan?
Apa tangan itu menulis?
Apa bibir itu mengucap?
Apa hati itu merasa?

Apa kenangan ini masih cukup ingat hari ini setahun yang lalu?

Kalau diri ini mensyukuri dan memohon,  
apa yang diri ini syukuri dan mohonkan di hari ini setahun yang lalu?

Kalau diri ini bercita-cita dan percaya,  
apa yang diri ini cita-citakan dan amini di hari ini setahun yang lalu?

Kalau diri ini tahu dan tidak tahu,  
apa yang diri ini ketahui dan tanyakan di hari ini setahun yang lalu?


Apa yang saya pikir baik di hari ini setahun yang lalu?

Apakah hari ini lebih baik dari setahun yang lalu?

Hari ini saya berulang tahun, lalu apakah hari ini semua berulang seperti tahun-tahun yang lalu?

Atau apakah saya telah belajar, dikritik dan mengritik diri, sehingga diri saya berbeda?

Kalau saya telah belajar, apakah saya akan berhenti belajar?

Adakah lagi yang bisa saya kritik dari diri saya?

Lalu kenapa hanya pertanyaan-pertanyaan di atas yang jadi hadiah untuk saya?

miskinnya saya....
lalu kenapa saya harus sedih karena miskinnya saya?
hahahahaha

Komentar

  1. nggak menduga tertanya Kolonel aktivis blogger juga. Mari berbagi tulisan masbro :D

    BalasHapus
  2. terimakasih kunjungannya Pak Ketua MG. yo, mari berbagi...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di