“Hari itu tidak ada kuliah, pun tidak ada perayaan yang berarti. Hari
itu hari Sabtu. Tidak ada upacara bendera yang harus saya ikuti seperti
beberapa tahun silam ketika saya masih cebol. Satu hari sebelumnya, seperti
tahun-tahun sebelumnya, di Jakarta, kaum buruh berdemo. Hari itu giliran guru
honorer, mahasiswa, berdemo. Namun bagi saya, hari itu lalu lewat seperti
hari-hari biasanya. Hari itu tanggal 2 Mei 2011.”
Hari Pendidikan Nasional? Buat
apalah kita menambah satu hari peringatan nasional tanpa tambahan liburan?
Pertanyaan itu terbersit di benak
saya saat menulis kata-kata yang saat ini sudah tertulis di depan mata Pembaca sekalian,
beberapa hari menjelang HarDikNas yang bahkan seringkali tanggalnya tidak
ditandai khusus dalam kalender karena angkanya tidak berwarna merah.
Iseng membuka Google, saya
mengetikkan kata “Hari Pendidikan Nasional” di kotak pencarian.
Klik “Enter”
“Ki Hajar Dewantara”, muncul di
baris teratas hasil pencarian
Itulah kenapa HarDikNas kita
peringati tiap tanggal 2 Mei: hari kelahiran Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia yang pertama.
Oooohhhh...
Lalu kenapa?
Apa bedanya antara dirayakan
ataupun tidak dirayakan? Apa yang berubah dari yang namanya pendidikan?
Apa
pengaruhnya bagi kehidupan saya sehari-hari?
“Di saat HarDikNas, kita
merayakan RUU Perguruan tinggi yang tak kunjung dianggap pantas oleh kami!”,
kata seorang mahasiswa imajiner dalam benak saya.
“yah, apa lagi kalau tidak
mendiskusikan sistem UN yang terus jadi dilema?”, seorang murid SMA imajiner
yang gagal lulus UN menambahkan.
“hey, ini waktunya mengkritisi sistem
penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi yang tidak pro-rakyat!”, tambah
seorang yang lain.
Berbagai macam pendapat lalu
dilontarkan terkait tentang apa yang kita peringati dan rayakan pada Hari Pendidikan
Nasional tahun ini.
Terlepas dari kata orang, semua
kalimat tadi saya induksi menjadi beberapa kata: waktunya untuk merefleksikan
pendidikan nasional kita.
Ketika kita merefleksikan
sesuatu, kita bertanya...
Tentang Pendidikan
Berbagai definisi tentang
pendidikan menurut para ahli bisa dengan mudah kita dapatkan ketika kita
mengetikkan “definisi pendidikan” dalam situs pencarian manapun di internet.
Langeveld, seorang Doktor di bidang pendidikan dari Universitas Utrecht, Belanda
berpendapat: Pendidikan adalah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada
pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa
(atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup
sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.[2]
J.J. Rousseau, filsuf yang mashur dengan karena dianggap sebagai seorang yang menjadi
pemantik meletusnya Revolusi Prancis berpendapat: Pendidikan adalah
memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita
membutuhkannya pada waktu dewasa. [2]
Ki Hajar Dewantara, yang ulang tahun hari kelahirannya diperingati sebagai HarDikNas
berpendapat: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. [2]
Menurut UU No. 20
tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. [2]
Banyaknya definisi yang telah diberikan oleh para ahli
sedikit banyak menunjukkan bahwa
pendidikan merupakan satu hal yang telah jadi fokus perhatian manusia sepanjang
sejarahnya. Selama sejarah manusia masih berlanjut, selama itu pula manusia
membuat perubahan, termasuk perubahan tentang pengertian pendidikan. Kalau kita
mempertimbangkan globalisasi dan
kemajuan pesat pada teknologi informasi yang tarafnya tidak sama dengan di
jaman para ahli yang tadi berpendapat, di abad-21 ini, pengertian
pendidikan bisa jadi berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Oom-oom ahli
pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pendidikan yang kita kenal saat ini tidak terbatas
pada pedagogi (pendidikan yang diperuntukkan untuk kanak-kanak ataupun orang
yang belum dewasa seperti kata Oom Langeveld, J.J. Rosseau, dan Ki Hajar
Dewantara). Kalau benar bahwa pendidikan kita masih persis sama seperti yang
dikatakan oleh Oom-oom tadi yaitu ditujukan bagi orang-orang yang belum dewasa
saja, coba bertanyalah: apakah orang dewasa tidak perlu lagi dididik? Siapa
yang mendidik mereka?
Kegiatan mendidik-dididik pun, tidak lagi terbatas
pada ruang kelas ataupun batasan-batasan formal lainnya. Kalau saya seorang
mahasiswa program studi aeronautika dan astronautika, apakah saya tidak bisa
mempelajari ilmu manajemen, politik, dan ekonomi karena tidak dipelajari dalam
kurikulum program studi saya? Atau, kalau saya memakai definisi pendidikan
berdasarkan UU.20 tahun 2003, ketika
saya tidak sedang dikelas dan tidak ada dosen yang membimbing saya secara terencana, apakah saya tidak
bisa mendidik diri saya sendiri melalui percakapan dengan orang lain,
eksperimen sosial, dan permainan?
Saat ini kita mengenal pendidikan untuk orang dewasa
(andragogi) dan pendidikan sepanjang hayat yang tidak lagi dibatasi oleh usia
dan kedewasaan. Pendidikan tidak lagi terbatas pada ruang kelas dan kurikulum
pendidikan formal saja, melainkan lingkungan belajar. Yang menjadi lingkungan
belajar adalah apapun yang ada di sekeliling peserta didik di sepanjang
waktunya, yang menjadi batasnya adalah apa yang sejauh ini ingin dia cari tau.
Tabel di bawah ini mungkin bisa memberi gambaran lebih
jelasnya tentang perbedaan konsep pedagogi dan andragogi:
Nah, karena menurut saya tidak ada satupun definisi
pendidikan yang telah saya sebutkan di atas benar-benar sama persis dengan
pengertian saya tentang pendidikan masa kini, saya mendefinisikan sendiri
pendidikan dalam tulisan ini sebagai
proses penguasaan ilmu
dan pengubahan sikap seseorang atau sekumpulan orang melalui upaya pengajaran
(transfer ilmu dan pengetahuan) dan pelatihan (pembiasaan sikap tertentu) agar
yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak mampu menjadi mampu.
Keberhasilan pendidikan diukur dari tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan.
Lalu apa tujuan pendidikan yang dimaksud agar kita
bisa mengukur keberhasilan pendidikan kita?
Seperti yang sudah saya singgung di atas, saat ini globalisasi dan perkembangan pesat
teknologi informasi telah memberikan pengaruh yang besar bagi pendidikan,
terutama dalam hal metode pengajaran (salah satunya, munculnya kesadaran
tentang yang namanya andragogi). Berkat teknologi internet dan akses
informasi yang rasanya semakin tidak ada batasnya, bahkan seorang profesor pun
kini mungkin tidak lagi dianggap selalu lebih tahu daripada mahasiswanya—meskipun
biasanya masih lebih berpengalaman dibanding mahasiswanya. Dalam pengantar
laporan UNESCO tentang pendidikan untuk abad-21, Jaques Delor menyimpulkan bahwa pendidikan di abad-21 pada
prinsipnya perlu diorganisasikan untuk menjawab tujuan pendidikan masa kini,
yaitu agar peserta didik dapat:
1.
belajar bagaimana cara untuk mengetahui—mendapat peralatan untuk dapat
mengerti
2.
belajar bagaimana cara untuk melakukan—untuk bisa mempraktekkannya dalam
lingkungannya
3. belajar bagaimana cara untuk bersosialisasi—untuk bisa mengembangkan
aktivitas sosial yang mendukung pengembangan hal yang dipelajari
4. belajar bagaimana cara untuk menjadi—merangkum tiga hal yang sudah
disebutkan: mengetahui, melakukan, bersosialisasi
Nah, untuk sementara kita cukupkan dulu berbicara
tentang pendidikan secara umum (sepertinya tidak ada matinya kalau kita
bicarakan lebih jauh, lagipula tangan saya bisa pegal-pegal kalau mencoba
menjelaskan semua tentang pendidikan). Kita coba kembali ke diri kita dulu, merefleksikan
sebuah pertanyaan selanjutnya:
Apa hubungan kita dengan apa yang kita bicarakan dari tadi:
pendidikan?
Pendidikan dan mahasiswa ITB
Kalau kita mengambil contoh di lingkungan kampus kita, menggunakan definisi pendidikan yang telah saya ungkapkan sebelumnya, disadari atau belum, kita bersentuhan dengan pendidikan ketika kita kuliah di ruang kelas, di saat kita duduk di depan laptop, berselancar di lautan informasi bernama internet, membaca buku di perpustakaan, ketika kita melakukan kaderisasi unit dan himpunan, di forsil-forsil antar lembaga mahasiswa, ketika kita mengunjungi sebuah seminar di Aula Timur, bahkan ketika kita hanya mengobrol dan berdiskusi dengan seseorang—yang bisa jadi siapapun yang masih bisa berkomunikasi lewat berbagai cara—tentang apapun yang menarik perhatian kita. Sekali lagi, disadari atau belum, pendidikan itu bukan hanya soal RUU PT, bukan hanya soal sistem UN, bukan hanya soal mengkritik sistem penerimaan mahasiswa baru ITB. Dari contoh-contoh yang telah saya kemukakan, dapat dilihat bahwa pendidikan itu nyata, intim, dan berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari sebagai mahasiswa ITB. Jadi persoalan pendidikan bukan hanya persoalannya unit-unit kajian, persoalannya Menteri Kajian Strategisnya kabinet KM ITB, tapi semua yang turut dalam pendidikan, persoalan semua mahasiswa ITB.
Tarik nafas dulu sebentar. Kita berefleksi, lontarkan
pertanyaan-pertanyaan lagi.
Kalau semua itu namanya pendidikan, apa yang
membedakan antara perkuliahan di bangku kelas dengan kegiatan-kegiatan
organisasi mahasiswa kita? Apakah semua itu setara? Kalau setara, kenapa kita
harus susah payah membayar uang kuliah? Kenapa kita harus kuliah?
Menurut saya, pendidikan di SD, SMP, SMA, Madrasah,
maupun Perguruan Tinggi sampai saat tulisan ini saya tulis, dalam banyak hal memang
masih belum bisa tergantikan sepenuhnya. Semua jenjang pendidikan yang
disebutkan tadi seringkali diklasifikasikan sebagai pendidikan formal.
Pendidikan formal? Berarti ada pendidikan yang tidak
formal?
Ya!
Mengacu pada UU no 20 th 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis:
1. Pendidikan formal, jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi.
2. Pendidikan nonformal, jalur pendidikan di
luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang.
3.
Pendidikan informal, jalur pendidikan keluarga
dan lingkungan.
Pertanyaan selanjutnya muncul dalam benak saya:
Saya cuma mau tanya, saya itu terlibat di bagian yang
mana ya?
Sebagai mahasiswa, saya terlibat dalam pendidikan formal. Dalam pendidikan
formal, sebagian besar peran dan tanggung jawab saya adalah sebagai peserta
didik.
Sebagai seorang anak dari dua orang tua saya dan
sebagai kakak dari adik-adik saya, saya terlibat dalam pendidikan informal. Saya menjadi seorang peserta didik sekaligus
pendidik dalam keluarga saya.
Sebagai salah satu anggota sekaligus pengurus unit
kegiatan mahasiswa dan himpunan mahasiswa jurusan yang saya ikuti, saya
berperan sebagai apa? Saya rasa Pembaca yang budiman sendiri bisa menjawabnya
dalam hati.
Kegiatan yang saya lakukan dalam UKM ataupun HMJ yang
saya ikuti, juga adalah salah satu pendidikan yang saya kecap semasa berkuliah
di ITB. Kalau sekarang kita mau mencoba melihat kembali UKM dan HMJ kita dan
membayangkan kegiatan pendidikan yang terjadi disana, apa yang kita lihat?
Apakah Anda melihat
hal yang sama dengan yang saya lihat?
Adakah mereka kini nampak seperti sekolah-sekolah
kecil?
Haha,
Saya tertawa ketika menyadari hal itu. Saya sudah
menjadi seorang mahasiswa, murid, guru, sekaligus seorang kepala sekolah dalam
waktu yang bersamaan!
Tawa itu kemudian cepat lepas, digantikan rasa
tanggung jawab yang selama ini saya tuntut kepada para pendidik.
Beberapa pertanyaan menggelitik kemudian terlontar
dari benak saya terkait peran saya sebagai peserta didik sekaligus pendidik:
1.
Apakah “sekolah kecil” kita sudah mampu memberikan pendidikan yang baik
bagi setiap anggotanya?
2. Kriteria apa yang kita pakai masing2 untuk jadi acuan kita menyebut
kegiatan pendidikan kita sudah baik atau belum?
3.
Menurut kriteria kita, apakah kegiatan kita sudah cukup baik?
4.
Apakah kriteria yang kita gunakan bisa diperbaiki lagi?
5. Adakah kriteria bersama yang bisa dipakai para “kepala sekolah” untuk
menentukan apakah “sekolah kecil”nya sudah baik atau masih kurang baik?
6.
Kalau belum baik, apa yang selama ini menjadi penghambat kita untuk menjadi
baik?
7.
Bagaimana cara mengatasi hambatan itu?
8.
Lalu apa kabar dengan RUK?
Beberapa pertanyaan diatas bisa jadi adalah
pertanyaan-pertanyaan pengantar kita dalam memperbaiki “sekolah kecil” kita
menjadi lebih baik dalam diskusi kita nanti.
Pembaca ingin menguji seberapa baik “sekolah kecil”
Anda dibanding “sekolah” lain? Yakinkah Anda bahwa “sekolah” Anda tidak bisa
lebih baik daripada yang sekarang?
Mari kumpulkan anggota unit dan himpunan Anda,
keluarga Anda di Kampus Ganesha ini, pendidik sekaligus peserta didik dalam
“sekolah kecil-sekolah kecil” kita di momen peringatan pendidikan ini. Luangkan
waktu barang satu atau beberapa jam untuk berdiskusi, mencari apa yang baik
bagi pendidikan kita, atau setidaknya mengecap sesuatu yang menyadarkan kita
tentang pendidikan.
Hey, ini cuma satu kali dalam satu tahun kan?
Kenapa harus
kita biarkan Hari Pendidikan Nasional untuk—kesekian kalinya—lewat begitu saja
tanpa memberi arti bagi pendidikan kita, bagi diri kita?
Untuk kemanusiaan,
Bandung, 27 April 2012
Ignatius Yudki Utama[3]
13609067
_______________________________________________________
[1]Disampaikan menjelang Hari Pendidikan Nasional, kepada
seluruh pengurus unit kegiatan mahasiswa maupun himpunan mahasiswa jurusan
sebagai pengantar diskusi mahasiswa dalam rangka memperingati Hari Pendidikan
Nasional tahun 2012.
[2]Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan.
2005. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada
[3]Anggota Institut
Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB; Mahasiswa Program Studi Aeronotika &
Astronotika Institut Teknologi Bandung, Bandung
aku posting di web MG, biar semakin mengena ke sasaran :)
BalasHapusoke, terimakasih, Bung Uru!
BalasHapusmanusia diberi akal untuk membedakan mana yang benar dan salah..
BalasHapusapakah semua jenis pendidikan sudah bisa memberi manusia kemampuan untuk membedakan mana yang haknya mana yang bukan, mana yang kewajibannya mana yang bukan..
kalau belum berarti ada yang salah mungkin dari sistem pendidikan (pastinya ?) atau dari makhluk yang didik itu sendiri..
mungkin baiknya kita merenung tentang diri ini siapa ?
dan untuk apa keberadaanya di dunia ini?
salam M.S.M.N.A.L
(*mahasiswa stres mau ngapain abis lulus)