Langsung ke konten utama

Hari Pendidikan Nasional: Katanya Penting sih, tapi Saya Harus Ngapain dengan Hari Itu?[1]



“Hari itu tidak ada kuliah, pun tidak ada perayaan yang berarti. Hari itu hari Sabtu. Tidak ada upacara bendera yang harus saya ikuti seperti beberapa tahun silam ketika saya masih cebol. Satu hari sebelumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, di Jakarta, kaum buruh berdemo. Hari itu giliran guru honorer, mahasiswa, berdemo. Namun bagi saya, hari itu lalu lewat seperti hari-hari biasanya. Hari itu tanggal 2 Mei 2011.”

Hari Pendidikan Nasional? Buat apalah kita menambah satu hari peringatan nasional tanpa tambahan liburan?

Pertanyaan itu terbersit di benak saya saat menulis kata-kata yang saat ini sudah tertulis di depan mata Pembaca sekalian, beberapa hari menjelang HarDikNas yang bahkan seringkali tanggalnya tidak ditandai khusus dalam kalender karena angkanya tidak berwarna merah.

Iseng membuka Google, saya mengetikkan kata “Hari Pendidikan Nasional” di kotak pencarian.

Klik “Enter”

“Ki Hajar Dewantara”, muncul di baris teratas hasil pencarian

Itulah kenapa HarDikNas kita peringati tiap tanggal 2 Mei: hari kelahiran Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang pertama.

Oooohhhh...

Lalu kenapa?

Apa bedanya antara dirayakan ataupun tidak dirayakan? Apa yang berubah dari yang namanya pendidikan? 

Apa pengaruhnya bagi kehidupan saya sehari-hari?

“Di saat HarDikNas, kita merayakan RUU Perguruan tinggi yang tak kunjung dianggap pantas oleh kami!”, kata seorang mahasiswa imajiner dalam benak saya.

“yah, apa lagi kalau tidak mendiskusikan sistem UN yang terus jadi dilema?”, seorang murid SMA imajiner yang gagal lulus UN menambahkan.

“hey, ini waktunya mengkritisi sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi yang tidak pro-rakyat!”, tambah seorang yang lain.

Berbagai macam pendapat lalu dilontarkan terkait tentang apa yang kita peringati dan rayakan pada Hari Pendidikan Nasional tahun ini.

Terlepas dari kata orang, semua kalimat tadi saya induksi menjadi beberapa kata: waktunya untuk merefleksikan pendidikan nasional kita.

Ketika kita merefleksikan sesuatu, kita bertanya...

Tentang Pendidikan


Berbagai definisi tentang pendidikan menurut para ahli bisa dengan mudah kita dapatkan ketika kita mengetikkan “definisi pendidikan” dalam situs pencarian manapun di internet.

Langeveld, seorang Doktor di bidang pendidikan dari Universitas Utrecht, Belanda berpendapat: Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.[2]

J.J. Rousseau, filsuf yang mashur dengan karena dianggap sebagai seorang yang menjadi pemantik meletusnya Revolusi Prancis berpendapat: Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa. [2]

Ki Hajar Dewantara, yang ulang tahun hari kelahirannya diperingati sebagai HarDikNas berpendapat: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. [2]

Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. [2]

Banyaknya definisi yang telah diberikan oleh para ahli sedikit banyak  menunjukkan bahwa pendidikan merupakan satu hal yang telah jadi fokus perhatian manusia sepanjang sejarahnya. Selama sejarah manusia masih berlanjut, selama itu pula manusia membuat perubahan, termasuk perubahan tentang pengertian pendidikan. Kalau kita mempertimbangkan globalisasi dan kemajuan pesat pada teknologi informasi yang tarafnya tidak sama dengan di jaman para ahli yang tadi berpendapat, di abad-21 ini, pengertian pendidikan bisa jadi berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Oom-oom ahli pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pendidikan yang kita kenal saat ini tidak terbatas pada pedagogi (pendidikan yang diperuntukkan untuk kanak-kanak ataupun orang yang belum dewasa seperti kata Oom Langeveld, J.J. Rosseau, dan Ki Hajar Dewantara). Kalau benar bahwa pendidikan kita masih persis sama seperti yang dikatakan oleh Oom-oom tadi yaitu ditujukan bagi orang-orang yang belum dewasa saja, coba bertanyalah: apakah orang dewasa tidak perlu lagi dididik? Siapa yang mendidik mereka?

Kegiatan mendidik-dididik pun, tidak lagi terbatas pada ruang kelas ataupun batasan-batasan formal lainnya. Kalau saya seorang mahasiswa program studi aeronautika dan astronautika, apakah saya tidak bisa mempelajari ilmu manajemen, politik, dan ekonomi karena tidak dipelajari dalam kurikulum program studi saya? Atau, kalau saya memakai definisi pendidikan berdasarkan UU.20 tahun 2003, ketika saya tidak sedang dikelas dan tidak ada dosen yang membimbing saya secara terencana, apakah saya tidak bisa mendidik diri saya sendiri melalui percakapan dengan orang lain, eksperimen sosial, dan permainan?

Saat ini kita mengenal pendidikan untuk orang dewasa (andragogi) dan pendidikan sepanjang hayat yang tidak lagi dibatasi oleh usia dan kedewasaan. Pendidikan tidak lagi terbatas pada ruang kelas dan kurikulum pendidikan formal saja, melainkan lingkungan belajar. Yang menjadi lingkungan belajar adalah apapun yang ada di sekeliling peserta didik di sepanjang waktunya, yang menjadi batasnya adalah apa yang sejauh ini ingin dia cari tau.

Tabel di bawah ini mungkin bisa memberi gambaran lebih jelasnya tentang perbedaan konsep pedagogi dan andragogi:

Nah, karena menurut saya tidak ada satupun definisi pendidikan yang telah saya sebutkan di atas benar-benar sama persis dengan pengertian saya tentang pendidikan masa kini, saya mendefinisikan sendiri pendidikan dalam tulisan ini sebagai

proses penguasaan ilmu dan pengubahan sikap seseorang atau sekumpulan orang melalui upaya pengajaran (transfer ilmu dan pengetahuan) dan pelatihan (pembiasaan sikap tertentu) agar yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak mampu menjadi mampu. Keberhasilan pendidikan diukur dari tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan.

Lalu apa tujuan pendidikan yang dimaksud agar kita bisa mengukur keberhasilan pendidikan kita?

Seperti yang sudah saya singgung di atas, saat ini globalisasi dan perkembangan pesat teknologi informasi telah memberikan pengaruh yang besar bagi pendidikan, terutama dalam hal metode pengajaran (salah satunya, munculnya kesadaran tentang yang namanya andragogi). Berkat teknologi internet dan akses informasi yang rasanya semakin tidak ada batasnya, bahkan seorang profesor pun kini mungkin tidak lagi dianggap selalu lebih tahu daripada mahasiswanya—meskipun biasanya masih lebih berpengalaman dibanding mahasiswanya. Dalam pengantar laporan UNESCO tentang pendidikan untuk abad-21, Jaques Delor menyimpulkan bahwa pendidikan di abad-21 pada prinsipnya perlu diorganisasikan untuk menjawab tujuan pendidikan masa kini, yaitu agar peserta didik dapat:
1.       belajar bagaimana cara untuk mengetahui—mendapat peralatan untuk dapat mengerti
2.    belajar bagaimana cara untuk melakukan—untuk bisa mempraktekkannya dalam lingkungannya
3.    belajar bagaimana cara untuk bersosialisasi—untuk bisa mengembangkan aktivitas sosial yang mendukung pengembangan hal yang dipelajari
4.      belajar bagaimana cara untuk menjadi—merangkum tiga hal yang sudah disebutkan: mengetahui, melakukan, bersosialisasi

Nah, untuk sementara kita cukupkan dulu berbicara tentang pendidikan secara umum (sepertinya tidak ada matinya kalau kita bicarakan lebih jauh, lagipula tangan saya bisa pegal-pegal kalau mencoba menjelaskan semua tentang pendidikan). Kita coba kembali ke diri kita dulu, merefleksikan sebuah pertanyaan selanjutnya:

Apa hubungan kita dengan apa yang kita bicarakan dari tadi: pendidikan?

Pendidikan dan mahasiswa ITB

 



Kalau kita mengambil contoh di lingkungan kampus kita, menggunakan definisi pendidikan yang telah saya ungkapkan sebelumnya, disadari atau belum, kita bersentuhan dengan pendidikan ketika kita kuliah di ruang kelas, di saat kita duduk di depan laptop, berselancar di lautan informasi bernama internet, membaca buku di perpustakaan, ketika kita melakukan kaderisasi unit dan himpunan, di forsil-forsil antar lembaga mahasiswa, ketika kita mengunjungi sebuah seminar di Aula Timur, bahkan ketika kita hanya mengobrol dan berdiskusi dengan seseorang—yang bisa jadi siapapun yang masih bisa berkomunikasi lewat berbagai cara—tentang apapun yang menarik perhatian kita. Sekali lagi, disadari atau belum, pendidikan itu bukan hanya soal RUU PT, bukan hanya soal sistem UN, bukan hanya soal mengkritik sistem penerimaan mahasiswa baru ITB. Dari contoh-contoh yang telah saya kemukakan, dapat dilihat bahwa pendidikan itu nyata, intim, dan berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari sebagai mahasiswa ITB. Jadi persoalan pendidikan bukan hanya persoalannya unit-unit kajian, persoalannya Menteri Kajian Strategisnya kabinet KM ITB, tapi semua yang turut dalam pendidikan, persoalan semua mahasiswa ITB.

Tarik nafas dulu sebentar. Kita berefleksi, lontarkan pertanyaan-pertanyaan lagi.

Kalau semua itu namanya pendidikan, apa yang membedakan antara perkuliahan di bangku kelas dengan kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa kita? Apakah semua itu setara? Kalau setara, kenapa kita harus susah payah membayar uang kuliah? Kenapa kita harus kuliah?

Menurut saya, pendidikan di SD, SMP, SMA, Madrasah, maupun Perguruan Tinggi sampai saat tulisan ini saya tulis, dalam banyak hal memang masih belum bisa tergantikan sepenuhnya. Semua jenjang pendidikan yang disebutkan tadi seringkali diklasifikasikan sebagai pendidikan formal.

Pendidikan formal? Berarti ada pendidikan yang tidak formal?

Ya!

Mengacu pada UU no 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis:
1.   Pendidikan formal, jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2.   Pendidikan nonformal, jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
3.       Pendidikan informal, jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pertanyaan selanjutnya muncul dalam benak saya:

Saya cuma mau tanya, saya itu terlibat di bagian yang mana ya?

Sebagai mahasiswa, saya terlibat dalam pendidikan formal. Dalam pendidikan formal, sebagian besar peran dan tanggung jawab saya adalah sebagai peserta didik.

Sebagai seorang anak dari dua orang tua saya dan sebagai kakak dari adik-adik saya, saya terlibat dalam pendidikan informal. Saya menjadi seorang peserta didik sekaligus pendidik dalam keluarga saya.

Sebagai salah satu anggota sekaligus pengurus unit kegiatan mahasiswa dan himpunan mahasiswa jurusan yang saya ikuti, saya berperan sebagai apa? Saya rasa Pembaca yang budiman sendiri bisa menjawabnya dalam hati.

Kegiatan yang saya lakukan dalam UKM ataupun HMJ yang saya ikuti, juga adalah salah satu pendidikan yang saya kecap semasa berkuliah di ITB. Kalau sekarang kita mau mencoba melihat kembali UKM dan HMJ kita dan membayangkan kegiatan pendidikan yang terjadi disana, apa yang kita lihat?

Apakah Anda melihat hal yang sama dengan yang saya lihat?

Adakah mereka kini nampak seperti sekolah-sekolah kecil?

Haha,

Saya tertawa ketika menyadari hal itu. Saya sudah menjadi seorang mahasiswa, murid, guru, sekaligus seorang kepala sekolah dalam waktu yang bersamaan!

Tawa itu kemudian cepat lepas, digantikan rasa tanggung jawab yang selama ini saya tuntut kepada para pendidik.

Beberapa pertanyaan menggelitik kemudian terlontar dari benak saya terkait peran saya sebagai peserta didik sekaligus pendidik:

1.       Apakah “sekolah kecil” kita sudah mampu memberikan pendidikan yang baik bagi setiap anggotanya?
2.    Kriteria apa yang kita pakai masing2 untuk jadi acuan kita menyebut kegiatan pendidikan kita sudah baik atau belum?
3.       Menurut kriteria kita, apakah kegiatan kita sudah cukup baik?
4.       Apakah kriteria yang kita gunakan bisa diperbaiki lagi?
5.   Adakah kriteria bersama yang bisa dipakai para “kepala sekolah” untuk menentukan apakah “sekolah kecil”nya sudah baik atau masih  kurang baik?
6.       Kalau belum baik, apa yang selama ini menjadi penghambat kita untuk menjadi baik?
7.       Bagaimana cara mengatasi hambatan itu?
8.       Lalu apa kabar dengan RUK?

Beberapa pertanyaan diatas bisa jadi adalah pertanyaan-pertanyaan pengantar kita dalam memperbaiki “sekolah kecil” kita menjadi lebih baik dalam diskusi kita nanti.

Pembaca ingin menguji seberapa baik “sekolah kecil” Anda dibanding “sekolah” lain? Yakinkah Anda bahwa “sekolah” Anda tidak bisa lebih baik daripada yang sekarang?

Mari kumpulkan anggota unit dan himpunan Anda, keluarga Anda di Kampus Ganesha ini, pendidik sekaligus peserta didik dalam “sekolah kecil-sekolah kecil” kita di momen peringatan pendidikan ini. Luangkan waktu barang satu atau beberapa jam untuk berdiskusi, mencari apa yang baik bagi pendidikan kita, atau setidaknya mengecap sesuatu yang menyadarkan kita tentang pendidikan.

Hey, ini cuma satu kali dalam satu tahun kan?

Kenapa harus kita biarkan Hari Pendidikan Nasional untuk—kesekian kalinya—lewat begitu saja tanpa memberi arti bagi pendidikan kita, bagi diri kita?

Untuk kemanusiaan,
Bandung, 27 April 2012



Ignatius Yudki Utama[3]
13609067

_______________________________________________________
[1]Disampaikan menjelang Hari Pendidikan Nasional, kepada seluruh pengurus unit kegiatan mahasiswa maupun himpunan mahasiswa jurusan sebagai pengantar diskusi mahasiswa dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun 2012.
 [2]Hasbullah. Dasar Ilmu Pendidikan. 2005. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada
[3]Anggota Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB; Mahasiswa Program Studi Aeronotika & Astronotika Institut Teknologi Bandung, Bandung

Komentar

  1. aku posting di web MG, biar semakin mengena ke sasaran :)

    BalasHapus
  2. oke, terimakasih, Bung Uru!

    BalasHapus
  3. manusia diberi akal untuk membedakan mana yang benar dan salah..
    apakah semua jenis pendidikan sudah bisa memberi manusia kemampuan untuk membedakan mana yang haknya mana yang bukan, mana yang kewajibannya mana yang bukan..
    kalau belum berarti ada yang salah mungkin dari sistem pendidikan (pastinya ?) atau dari makhluk yang didik itu sendiri..
    mungkin baiknya kita merenung tentang diri ini siapa ?
    dan untuk apa keberadaanya di dunia ini?


    salam M.S.M.N.A.L
    (*mahasiswa stres mau ngapain abis lulus)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tukang Ganti Baterai Jam Tangan

Untuk pertama kalinya saya mengganti baterai jam tangan saya. Satu bulan terakhir ini, jam tangan digital saya memang sudah mulai meredup tampilan penunjuk waktunya. “di ABC atau Simpang juga ada kok, Yud”, kata seorang kawan di sebuah obrolan kecil dua sore yang lalu ketika saya bertanya dimana tempat saya dapat mengganti baterai jam tangan saya . Hari Jumat, saya beranjak menuju Simpang Dago, membawa jam tangan hitam saya . Sambil mengamati deretan toko yang ada di sebelah kiri saya, saya mencoba menerka-nerka seperti apa toko yang menyediakan jasa ganti baterai jam tangan. Langkah saya terhenti di depan s ebuah etalase dengan lemari kaca berisi puluhan jam tangan . “Pak, disini bisa ganti baterai jam tangan?”, kata saya sambil melepas jam tangan saya dan menunjukkannya pada seorang bapak berumur empat puluh tahunan penjaga toko . Bapak itu melihat sekilas jam tangan saya lalu dengan tangan kirinya menunjuk seorang bapak lain di depan etalasenya. “dis

Investasi

Melambung pikiran akan masa depan yang tak pasti ataupun masa kini di luar jangkauan tindak,  habis waktu kesal mengomentari kebijak(sana)an yang mungkin tidak pernah ada,  merasa tak kemana-mana saat yang lain melanglangbuana,  terantuk pada akhir minggu malam pada hari ini,  pada tempat ini,  pada tugas yang terasa begitu kecil dan tak berarti  ...  tapi cuma aku yang  disini dan saat ini bisa mengerjakannya! bukan orang besar terhormat di atas sana,  orang muda pintar penuh prestasi yang itu,  ataupun orang tajir melintir di ujung lainnya.    "Tugasku, kehormatanku!" oceh serangkai kata terpajang pada sebuah tempat pernah bersarang.    Berikan yang mampu diberikan  meski itu bukan sebuah barang mewah ataupun sesuatu yang membuat orang berdecak kagum.  Kembangkan apa yang sudah diterima dan persembahkan persembahan yang tak berharga ini.  Hidup kadang b ukan soal besar atau kecil yang diterima. Berapa yang mampu diberikan kembali dari  yang telah diterima?

Resensi ++: Problem Solving 101 (bagaimana menjadi pemecah masalah)

Pagi ini saya sekedar ingin mengisi waktu kosong sebelum kuliah, bereksperimen dengan tulisan resensi (mungkin banyak yang sudah membuat resensi buku ini, namun buat saya: peduli setan lah) Dalam kehidupan berkuliah dan berorganisasi, sering saya temui masalah-masalah yang kelihatannya rumit, tidak bisa diselesaikan, dan banyak orang yang akhirnya hanya menghabiskan waktu hanya untuk khawatir dan mengeluhkan masalah tersebut. Nah, saat saya menemukan situasi seperti itu, saya teringat kepada satu buku yang sederhana tapi berguna. Buku Problem Solving 101 ini saya beli dengan harga +- 50 ribuan (kalo tidak salah, harganya 45 ribu). Awalnya saya rasa itu adalah harga yang terlalu mahal untuk buku yang setipis itu (hanya 115 lembar, ukurannya pun tidak jauh jauh dari selembar kertas A5), namun segalanya berubah setelah saya membuka halaman pertamanya. Dari beberapa lembar halaman awal, saya mengetahui bahwa Ken Watanabe menulis buku ini pada mulanya ditujukan untuk membantu kanak-kanak di